PARIS, DDTCNews - Data agregat country-by-country reporting (CbCR) yang diolah oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengindikasikan masih maraknya praktik base erosion and profit shifting (BEPS) oleh korporasi multinasional pada 2022.
Menurut OECD, indikasi BEPS tampak pada ketidakselarasan antara lokasi dilaporkannya laba dan lokasi terjadinya aktivitas ekonomi. Hal ini terbukti pada tingginya porsi pendapatan dan laba yang dibukukan di yurisdiksi investment hub, tak sejalan dengan rendahnya pegawai dan aset berwujud yang ada di yuridiksi dimaksud.
"Semua indikator tercatat lebih tinggi di investment hubs dibandingkan dengan yurisdiksi lain. Hal ini mengindikasikan masih berlanjutnya praktik BEPS," tulis OECD dalam Corporate Tax Statistics 2025, dikutip pada Kamis (4/12/2025).
Porsi laba korporasi multinasional yang dibukukan di investment hub mencapai 18% dari total laba, tak sebanding dengan proporsi pegawai dan aset berwujud yang berlokasi di yurisdiksi tersebut.
Pegawai korporasi multinasional di investment hub hanya 4% dari total pegawai, sedangkan aset berwujud yang berada di investment hub adalah sebesar 12% dari keseluruhan aset berwujud.
Tak hanya itu, median rasio pendapatan korporasi multinasional per pegawai di investment hub mencapai US$1,72 juta per pegawai, di atas median rasio pendapatan korporasi multinasional per pegawai di negara berpenghasilan tinggi, menengah, dan rendah masing-masing senilai US$460.000, US$245.000, dan US$170.000.
"Meski mencerminkan perbedaan intensitas modal atau produktivitas pekerja, hal ini kemungkinan besar juga mengindikasikan adanya praktik BEPS," tulis OECD.
Meski demikian, OECD mencatat median rasio pendapatan korporasi multinasional per pegawai di investment hub pada 2022 tergolong sudah lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada data agregat CbCR 2017, median rasio pendapatan korporasi multinasional per pegawai di investment hub mencapai US$1,78 juta per pegawai.
"Ada berbagai faktor yang memengaruhi angka ini, utamanya gejolak ekonomi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, data ini juga dapat menjadi indikator penurunan praktik BEPS," ungkap OECD.
Sebagai informasi, CbCR adalah salah satu dari 3 jenis dokumentasi transfer pricing yang harus disiapkan dalam hal wajib pajak melakukan transaksi afiliasi.
Data-data yang harus dicantumkan secara mendetail per negara dalam CbCR antara lain pendapatan dari pihak independen dan afiliasi, laba sebelum pajak, PPh terutang, jumlah pegawai, hingga aset berwujud.
Entitas induk yang melakukan transaksi afiliasi harus menyusun CbCR dalam hal omzet konsolidasi grup usahanya mencapai €750 juta atau dalam konteks Indonesia senilai Rp11 triliun.
CbCR dipertukarkan oleh negara-negara yang sudah menandatangani dan melaksanakan qualifying competent authority agreement (QCAA). (dik)
