PANDEMI Covid-19 disinyalir dapat menurunkan penerimaan pajak di banyak negara. Penurunan penerimaan tersebut disebabkan oleh perlambatan dan disrupsi aktivitas ekonomi.
Dalam konteks tersebut, ada juga pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dari kebijakan administrasi pajak yang ditempuh untuk merespons pandemi. Hal-hal fundamental seperti penurunan basis pajak, gangguan sistem administrasi pajak, serta penurunan kepatuhan pajak juga dapat memengaruhi penerimaan pajak secara agregat.
Kompleksitas variabel ditambah situasi yang penuh ketidakpastian membuat penyusunan estimasi penerimaan negara relatif sulit, tapi tetap penting untuk dilakukan. Di saat-saat seperti sekarang ini, pemangku kebijakan harus tetap konsisten dalam memantau situasi ke depan untuk dapat memutuskan langkah-langkah penanganan yang tepat.
International Monetary Fund (IMF) mempublikasikan ‘Special Series on Fiscal Policies to Respond to Covid-19’ yang bertujuan untuk membantu negara-negara anggota dalam mengatasi pandemi Covid-19. Menurut publikasi tersebut, metode estimasi penerimaan yang memakai buoyansi pajak (tax buoyancy) secara agregat terhadap estimasi PDB seringkali dapat menimbulkan overestimate penerimaan selama terjadinya pandemi.
Publikasi IMF ini juga menyarankan adanya pemisahan periode awal penanganan pandemi dan periode setelahnya. Periode pemulihan tentunya juga dengan catatan adanya gelombang kedua pandemi yang akan membedakan periode pemulihan tersebut dengan periode pemulihan pada umumnya. IMF menyatakan bahwa setidaknya diperlukan waktu di luar dua tahun masa pandemi untuk memakai lagi metode estimasi yang umumnya digunakan.
Kemudian, memasukkan unsur insentif dan belanja pajak melalui kebijakan fiskal (discretionary policy) selama pandemi berlangsung juga patut dipertimbangkan. Memakai elastisitas pajak (tax elasticity) – perubahan persentase di penerimaan pajak setelah kebijakan intervensi fiskal terhadap basis pajak – merupakan suatu pendekatan yang lebih tepat. Namun, ini dengan catatan dampak dari intervensi fiskal tersebut (termasuk yang terdahulu) dapat diukur secara tepat.
Pertimbangan lainnya adalah komposisi sektoral PDB yang dapat memengaruhi penerimaan pajak. Selama masa pandemi, terdapat sektor-sektor yang tadinya merupakan sektor penopang PDB menjadi sektor-sektor pelemah yang disebabkan oleh adanya disrupsi aktivitas ekonomi. Dalam meningkatkan kualitas estimasi, sektor-sektor penyumbang penerimaan pajak dan PDB serta struktur komposisi perusahaan dalam masing-masing sektor perlu juga untuk difokuskan.
Selain itu, penting juga untuk memisahkan estimasi pajak berdasarkan jenis untuk menangkap karakteristik dari masing-masing pajak dan reaksi masing-masing terhadap pandemi Covid-19. Sebagai contoh, pajak penghasilan (PPh) badan cenderung lebih fluktuatif dibandingkan dengan pajak pertambahan nilai (PPN) maupun PBB, dan sebagainya.
Selanjutnya, perlu juga diperhatikan aspek kecenderungan nonlinear dari penerimaan pajak yang disebabkan oleh drastisnya pengurangan basis pajak, pengecualian dan pengurangan tarif pajak, serta penambahan depresiasi sebagai nilai tetap.
Publikasi ini sangat berguna untuk dipelajari secara mendalam, terutama bagi otoritas maupun peneliti pajak dalam melihat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengestimasi penerimaan pajak pada masa pandemi Covid-19.
Terlebih, publikasi ini juga memasukkan beberapa studi kasus seperti di Somalia, Rwanda, Amerika Serikat, Dominika, dan Ghana yang dapat memudahkan pembaca untuk lebih memahami dampak dari Covid-19 terhadap sektor ekonomi dan pajak. (kaw)