LITERATUR PAJAK

Sistem Tanam Paksa: Jurus Kolonial Belanda Mengejar ‘Surplus APBN’

Sapto Andika Candra
Jumat, 19 Juli 2024 | 18.17 WIB
Sistem Tanam Paksa: Jurus Kolonial Belanda Mengejar ‘Surplus APBN’

Buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia: Antara Eksploitasi dan Resistensi.

BONCOSNYA kas Belanda dalam mendanai Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu alasan dikenalkannya sistem fiskal yang ambisius: Cultuurstelsel atau tanam paksa pada 1830. Kala itu Belanda memang berpikir keras mencari cara untuk mengamankan keuangan kolonial. 

Melalui tanam paksa, petani di Jawa diharuskan menanam seperlima dari tanah desa dengan tanaman komersial tertentu yang bernilai ekspor. Hasil panennya kemudian diserahkan kepada pemerintah. 

Abdul Wahid, dalam buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia: Antara Eksploitasi dan Resistensi memberikan alternatif sudut pandang kepada publik mengenai sistem tanam paksa. 

Selama ini, textbook sejarah nasional memberikan definisi bermakna peyoratif terhadap sistem tanam paksa. Namun, Abdul justru menyodorkan alternatif sudut pandang bahwa tanam paksa merupakan sistem ekonomi terpadu yang melahirkan banyak sektor ekonomi baru.

Tanam paksa terbukti memberikan multiplier effect terhadap ekonomi desa, melalui pembangunan pabrik, transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja, hingga terbangunnya ilmu administrasi fiskal. 

Pada akhirnya, sistem tanam paksa juga melahirkan infrastruktur-infrastruktur baru yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan terutama irigasi terpadu. Hal ini turut membangun kota-kota kecil di Jawa dan memunculkan komoditas baru yang bisa dipajaki oleh pemerintah (landrent), yakni opium, tembakau, dan perikanan. 

Sistem tanam paksa kala itu memang lekat dengan pemungutan pajak tanah. Pajak dihitung berdasarkan jumlah hasil panen yang disetorkan petani. Selama periode tanam paksa, pajak dipungut secara withholding melalui elit-elit lokal, terutama bupati. 

Tanam Paksa Menyelamatkan Kas Belanda

Sistem tanam paksa tercatat sukses mendongkrak produksi pertanian dan perkebunan di Jawa. Dalam buku yang sama, Abdul juga menuliskan bahwa sepanjang 1830-1840 ekspor gula dari Jawa melonjak dari 7.000 ton pada 1830 menjadi 62.000 ton pada 1840. Naik nyaris 9 kali lipat. 

Kenaikan produksi pertanian dan perkebunan ini sontak menyehatkan kas Belanda. Selama periode 1820 hingga 1840, Belanda mengalami defisit anggaran. Baru pada 1850, untuk pertama kalinya, pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami surplus anggaran. Kalau pakai bahasa fiskal masa kini, kolonial Belanda mengalami surplus APBN. 

Puncaknya, pada periode 1871 hingga 1880 Belanda mencatatkan surplus APBN hingga 58,9 juta gulden. 

Surplus APBN yang dialami pemerintah kolonial sejak 1850 hingga 1900-an membuat perekonomian daerah jajahan ikut menanjak. Van Zanden dan Marks (2012) mencatat kenaikan produk domestik bruto (PDB) Hindia Belanda mengalami puncaknya pada 1880 hingga 1890. 

Sistem tanam paksa sendiri sebenarnya dicabut secara bertahap mulai 1870 berdasarkan undang-undang agraria yang dimiliki Belanda. Sejak saat itu, pemerintah mengandalkan sistem fiskal dan sumber penerimaan pajak dan nonpajak untuk mendulang pendapatan kolonial. 

Pada 1872, pemerintah Belanda secara resmi menerapkan ordonansi pajak tanah sebagai standar baru penetapan pajak tanah. Pemerintah berupaya mendiversifikasi sumber penerimaan negara. Pajak-pajak baru pun diterapkan, seperti pajak perseorangan (hoofdgeld), pajak pribadi (personeelbelasting), dan pajak penghasilan (inkomstenbelasting). 

Seiring berjalannya waktu, pemerintah Belanda menjalankan reformasi pajak di Jawa. Tahun 1920 menjadi penanda dimulainya peraturan pajak termutakhir yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda, termasuk diberlakukannya pajak kekayaan, pajak ekspor dan impor, pungutan kepabeanan dan cukai, hingga pajak meterai. 

Strategi pengelolaan keuangan negara yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda kemudian diestafetkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penerimaan pajak masih menjadi tulang punggung pendapatan negara. 

Sejauh ini, penerimaan pajak masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2022, terdapat 3 sumber utama pendapatan negara, yaitu penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. 

Kini, kita akan menyambut gerbong pemerintahan yang baru. Terobosan kebijakan apa lagi yang akan diambil demi menambal kebutuhan pembangunan bangsa? (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.