SEJARAH PAJAK

200 Tahun Perang Jawa: Mengingat Nestapa Petani karena Gerbang Cukai

Redaksi DDTCNews
Kamis, 06 November 2025 | 15.30 WIB
200 Tahun Perang Jawa: Mengingat Nestapa Petani karena Gerbang Cukai
<p>Sumber gambar: <em>J.P. van de Veer - G.L. Kepper: Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch leger</em></p>

MENJELANG 1825, wilayah selatan Jawa tak ubahnya seperti tong mesiu. Siap meledak kapanpun.

Peter Carey dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014), mengurai ada beragam permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang membelenggu masyarakat di bawah pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Mulai dari perkara pajak tanah, gagal panen yang meluas, wabah kolera pada 1821, polemik gerbang cukai, hingga penyewaan lahan perkebunan kepada orang-orang Belanda.

Semua masalah itu seolah menyulut percik api di atas sumbu bedil. Rakyat sudah di puncak amarah. Dan, dor! Puncaknya adalah lahirnya Perang Jawa yang berlangsung selama 5 tahun, 1825 hingga 1830.

Perang tersebut tercatat penting dalam buku sejarah Indonesia karena mahalnya ongkos yang perlu dilunasi oleh kedua pihak: Belanda dan rakyat. Nyaris 30.000 nyawa melayang.

Perang Jawa memang dilatari sebab yang kompleks, termasuk adanya hasrat dari rakyat dan kerajaan untuk membangun tatanan politik seperti masa pra-Daendels. Namun, ragam ganjalan sosial-ekonomi-politik seperti yang dituliskan di atas, memiliki kontribusi penting.

Salah satunya adalah keberadaan gerbang cukai.

Pada awal 1800-an, pemerintah kolonial Belanda melanggengkan sistem gerbang cukai. Pos-pos pemeriksaan didirikan untuk memeriksa setiap pedagang yang melintas pintu masuk kota atau daerah tertentu.

Selama 70 tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, Belanda membangun gerbang cukai di hampir semua pintu masuk desa atau dusun (Carey, 2008).

Dikutip dari buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014), Van Sevenhoven (1782-1841), salah seorang komisiner Belanda yang ditugaskan untuk memeriksa kinerja pengelolaan gerbang cukai, sempat menceritakan seperti apa keberadaan gerbang cukai.

Menurutnya, gerbang cukai merupakan momok terbesar masyarakat petani Jawa sebelum Perang Jawa meletus. Petani yang pergi ke pasar harus antre berjam-jam sebelum barang bawaannya diperiksa oleh petugas (bandar) gerbang cukai. Jika kerbau milik petani merumput di sekitar gerbang selama menunggu diperiksa, si petani kena denda.

Jika petani tak sanggup membayar denda, kerbau miliknya akan diambil paksa oleh petugas gerbang cukai. Tak jarang, petani terpaksa menyerahkan sebagian besar keuntungannya untuk menyewa kembali kerbang yang semestinya jadi miliknya. Kala itu, gerbang cukai dikuasai oleh bandar yang merupakan penduduk Tionghoa.

Tarif cukai yang perlu dibayarkan ketika melintasi gerbang cukai juga cukup tinggi. Catatan Belanda bahkan menuliskan bahwa harga bahan-bahan pokok di Karesidenan Kedu meninggi menjelang Perang Jawa.

Kekeringan yang melanda paruh selatan kekuasaan Mataram ditambah mahalnya pajak jalan membuat harga sepikul beras tembus 9,5 gulden pada 1820-an. Padahal, normalnya harga beras dengan muatan yang sama cukup ditebus dengan uang 5 gulden.

Rakyat dipaksa bayar cukai, harga-harga bahan pokok naik, tapi tidak ada keuntungan secuil pun yang mereka rasakan.

Sebenarnya keluhan petani dan pedagang ini sudah disampaikan kepada pejabat desa. Sayangnya, aduan itu nihil hasil. Pejabat-pejabat desa biasanya sudah disuap lebih dulu oleh para bandar gerbang cukai.

Kemarahan rakyat disalurkan dengan cara meminta bantuan bandit atau preman untuk mencuri, menjarah, atau membakar para bandar gerbang cukai. Menurut Carey (2008), peristiwa kemalingan atau penjarahan bandar gerbang cukai sering terjadi menjelang terjadinya Perang Jawa.

Bahkan pada tahun-tahun sebelum Perang Jawa, nyaris semua gerbang cukai di Yogyakarta sudah habis dibakar oleh rakyat. Komunitas Tionghoa di wilayah Jawa bagian selatan, mulai dari Kebumen hingga Madiun, juga banyak yang dianiaya oleh pribumi.

Pada bulan-bulan sebelum meletus Perang Jawa, daerah pedalaman di Jawa bagian Selatan berubah menjadi tempat yang penuh prasangka dan teror. Carey menggambarkan situasi saat itu dengan banyaknya gerombolan bersenjata yang beraksi di jalanan tanpa ada sanksi hukum. Mereka memastikan para petani membayar gerbang cukai yang dilewatinya.

Namun, sebenarnya pada Oktober 1824, Gubernur Jenderal Van der Capellen menunjuk tim komisioner yang beranggotakan 3 orang yang dipimpin oleh Residen Yogyakarta dan Surakarta. Tim ini bertugas mengevaluasi kinerja gerbang cukai. Rekomendasi yang diajukan tim komisioner itu adalah dihapuskannya seluruh gerbang cukai yang ada di wilayah Jawa.

Laporan evaluasi tim komisioner bahkan ditutup dengan sebuah kalimat yang lugas:

"Kami berharap mereka [orang Jawa] tidak akan bangun dari tidur lelapnya, sebab kami sudah memperhitungkan sebagai sebuah kepastian bahwa jika gerbang cukai diizinkan berlangsung terus, saatnya tidak lama lagi orang Jawa akan bangkit dengan segala keberingasannya." (Carey, 2008)

Kisah soal gerbang cukai yang berlangsung di masa lampau bisa menjadi bahan refleksi kita saat ini. Pada prinsipnya, pemungutan yang dijalankan oleh pihak penguasa atas rakyatnya, baik dalam wujud cukai atau pajak, harus dijalankan secara adil. Hasil dari pungutan itu pula harus mengalir kembali dan dirasakan sepenuhnya oleh rakyat.

Darussalam, dalam Empat Masalah Fundamental Pajak RI: dari Edukasi ke Narasi Kebijakan (2025) mengingatkan pentingnya aspek edukasi pajak bagi masyarakat. Menurutnya, minimnya edukasi menjadi salah satu penyebab munculnya resistensi dari masyarakat terhadap setiap kebijakan pajak yang muncul.

Kalau melihat lagi sejarah, Darussalam mengulas, sebetulnya penerapan pajak memang tidak pernah lepas dari resistensi. Berbagai pemberontakan muncul di banyak negara, termasuk Indonesia, karena pemungutan pajak.

Pada era kolonial, pajak tidak mengenal hak kepemilikan pribadi oleh rakyat. Oleh karenanya, pajak merupakan upeti yang dibayarkan oleh rakyat kepada penguasa sebagai balas jasa atas penggunaan hak milik negara oleh rakyat.

Karenanya, Darussalam menekankan pentingnya peran edukasi. Rakyat perlu diberi pemahaman mengenai apa itu pajak? Apa bedanya pajak dengan upeti? Kenapa kita harus bayar pajak? Apa yang kita dapat dari pajak? Serta, kenapa pajak dibutuhkan?

Jika pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dan dipahami oleh masyarakat, niscaya pemungutan pajak bisa berjalan lebih optimal dan berlandaskan keadilan.

Senada dengan Darussalam, belum lama ini Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga sempat menyampaikan dorongannya agar tercipta perlakuan pajak yang adil. Menurut Purbaya, otoritas pajak perlu melaksanakan kebijakan pajak secara adil sesuai dengan regulasi yang berlaku.

"Jalankan program-program pajak yang betul, collect yang betul. Kalau ada yang salah dihukum, tetapi kita jangan meres gitu. Harus ada perlakuan yang fair terhadap pembayar pajak," katanya. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.