Buku Behind Tax Policy Controversies karya Steven M. Sheffrin di DDTC Library.
KEBIJAKAN perpajakan kerap kali menjadi isu yang memunculkan pro dan kontra di berbagai negara. Salah satunya, kebijakan pemerintah dalam menyusun belanja perpajakan (tax expenditure).
Alih-alih membawa manfaat pada perekonomian, belanja perpajakan justru seringkali dianggap sebagai penyebab tidak optimalnya penerimaan negara. Anggapan itu dilontarkan oleh politisi, akademi, hingga masyarakat umum. Pandangan itu membuat belanja perpajakan sering menjadi objek yang diupayakan untuk direformasi.
Salah satu bab dalam buku Behind Tax Policy Controversies karya Steven M. Sheffrin, yakni The Rise and Fall of Classic Tax Reform, tertulis fakta bahwa perdebatan soal kebijakan pajak di Amerika Serikat (AS) telah berlangsung sejak 1960-an. Di tengah perdebatan para reformis, Presiden John F. Kennedy pada saat itu menunjuk profesor Harvard Stanley Surrey untuk menduduki jabatan Asisten Menteri Kebijakan Pajak, posisi di bidang pajak tertinggi di Kementerian Keuangan AS.
Surrey membawa semangat baru untuk mereformasi peraturan perpajakan, yang salah satu inovasi utamanya adalah mengembangkan dan memopulerkan konsep belanja perpajakan. Menurutnya, belanja perpajakan merupakan pengeluaran pemerintah yang tidak mengalir melalui proses alokasi APBN yang normal, tetapi disalurkan melalui sistem perpajakan.
Misalnya, pemerintah memberikan pengurang penghasilan atas bunga kredit pemilikan rumah (KPR) ketimbang subsidi tunai langsung kepada pemilik rumah. Â
Belanja perpajakan dapat diterapkan dengan beberapa skema berbeda, yakni melalui penghasilan yang tidak termasuk dalam objek pajak; pengurangan yang diberikan sebelum menghitung penghasilan kena pajak; atau kredit pajak yang akan memotong penghasilan kena pajak. Namun, Surrey mengakui belanja perpajakan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.Â
Advokasi Surrey terhadap reformasi akhirnya berujung pada mandat kongres agar belanja perpajakan disusun dan dipublikasikan. Hal itu dilakukan untuk melaporkan semua belanja melalui sistem perpajakan beserta estimasi biayanya dalam kaitannya dengan penerimaan negara yang hilang pada 1974.
Publikasi tersebut tidak membuat perdebatan mengenai belanja perpajakan di AS berakhir. Sebaliknya, setiap kalangan kini justru bisa memperdebatkan jenis-jenis belanja perpajakan beserta kelemahannya.
Dalam laporan belanja perpajakan terbarunya, Kementerian Keuangan AS mencatat 165 jenis belanja perpajakan yang berbeda. Banyak di antara jenis belanja perpajakan ini berpotensi menjadi sasaran para reformis lantaran tidak semuanya memenuhi kriteria efisiensi yang ketat untuk tetap berada dalam peraturan perpajakan.
Di sisi lain, para reformis perpajakan dapat pula menggunakan daftar ini untuk menentukan jenis belanja perpajakan mana saja yang layak diperjuangkan secara politik.
Laporan belanja perpajakan dapat menjadi alat yang berguna untuk memulai diskusi karena politisi, reformis, dan masyarakat yang tertarik kini dapat langsung mengaksesnya.
"Namun, sekadar menyebut [kelemahan] dari belanja perpajakan tidak berarti belanja tersebut harus dihilangkan untuk memperluas basis dan menurunkan tarif [pajak]," tulis Sheffrin dalam bukunya.
Isu efisiensi ekonomi merupakan hal yang penting dalam perancangan sistem perpajakan karena masyarakat menginginkan tarif yang lebih rendah untuk jenis penghasilan atau aktivitas tertentu, serta tarif yang lebih tinggi untuk jenis pendapatan atau aktivitas lainnya.
Perdebatan mengenai belanja perpajakan juga terjadi di Indonesia. Pekan lalu, beberapa anggota DPR dalam rapat bersama Kementerian Keuangan menyoroti porsi belanja perpajakan yang mencapai 1,6% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo memandang semua belanja perpajakan perlu dievaluasi untuk memastikan dampaknya pada perekonomian. Misal belanja perpajakan untuk mendukung hilirisasi mineral, perlu dikaji dampaknya terhadap peningkatan ekspor dan penerimaan negara.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mencatat belanja perpajakan diestimasi mencapai Rp352,83 triliun pada 2023 dan akan menyentuh Rp374,53 triliun pada tahun ini. Kepala BKF Febrio Kacaribu menyebut kelompok yang paling banyak menikmati belanja perpajakan ini adalah rumah tangga dan UMKM.Â