Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Peningkatan Perekonomian masih menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (9/9/2019). Salah satu yang disoroti adalah pengaturan ulang sanksi administratif perpajakan.
Rencananya, ada 4 aspek yang akan diatur ulang. Pertama, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan SPT tahunan dan SPT masa. Awalnya, sanksi berupa 2% per bulan dari pajak kurang dibayar. Nantinya, sanksi per bulan akan memakai formula: (suku bunga acuan+5%)/12.
Kedua, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena penetapan (SKP). Awalnya, sanksi sebesar 2% per bulan dari pajak kurang dibayar. Nantinya, dalam RUU, sanksi per bulan ditetapkan menggunakan formula: (suku bunga acuan+10%)/ 12. Besaran bunga per bulan dan denda ditetapkan Menkeu.
Ketiga, sanksi denda bagi PKP yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu. Sanksi yang awalnya sebesar 2% diubah menjadi 1% dari dasar pengenaan pajak.
Keempat, sanksi denda bagi pengusaha yang tidak lapor usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP. Selama ini tidak ada sanksi administrasi yang diberikan. Nantinya, ada sanksi sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak. Ini menjadi bentuk kesetaraan dengan PKP yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu.
“Mengenai denda untuk sanksi bunga itu sekarang kita perbaiki dan supaya lebih fair penghitungannya,” ujar Dirjen Pajak Robert Pakpahan.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti skema pengadaan jasa konsultasi badan usaha untuk pembaruan sistem administrasi perpajakan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.121/PMK.03/2019.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan perubahan skema pengitungan sanksi administrasi tersebut dilakukan dengan dua tujuan.
Pertama, menjaga hak negara. Pajak itu seharusnya sudah dibayar tetapi terlambat, sehingga ada cost of money yang mesti dibebankan atas keterlambatan tersebut. Kedua, untuk mengedukasi wajib pajak supaya lebih patuh.
Hal tersebut tercermin dalam tambahan komponen 5% tambahan dari suku bunga acuan. Formulasi tersebut, menurut dia, juga akan lebih adil baik dari sisi wajib pajak maupun pemerintah dibandingkan yang saat ini diratakan 2% per bulan.
Dalam PMK No.121/PMK.03/2019, pemerintah menetapkan dua skema pengadaan jasa konsultasi badan udaha untuk pembaruan sistem administrasi perpajakan, yaitu berdasarkan kualitas dua sampul dan penunjukan langsung. Skema pertama ilakukan melalui seleksi internasional dan dapat diikuti oleh peserta dari dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya, skema penunjukan langsung dapat dilakukan jika metode seleksi pertama, yaitu berdasarkan kualitas dua sampul dinyatakan gagal. Kegagalan bisa terjadi ketika ada kebutuhan yang tidak dapat ditunda dan tidak cukup waktu untuk pelaksanakan seleksi ulang.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat jumlah OP yang menjalankan kegiatan usaha tercatat sangat besar. Hal ini berkorelasi dengan potensi pajaknya. Menurutnya, secara teori, PPh OP seharusnya lebih tinggi dari PPh badan.
Namun, dia melihat sektor itu belum menjadi fokus dari pemerintah karena memang tidak mudah untuk menyisirnya. Apalagi, banyak wajib pajak OP yang bergerak di sektor informal serta berskala kecil dan menengah. Mereka belum sepenuhnya dijangkau oleh sistem perpajakan.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Farrah R. Indriani mengatakan kecenderungan investor asing merelokasi usaha biasanya dimulai dari pengamatan ketersediaan lahan yang tidak tumpang tindih dan mudah didapat.
Di Indonesia, sambungnya, masalah lahan yang tumpang tindih masih ada. Selain itu, untuk mendapatkannya juga membutuhkan izin yang rumit mulai dari daerah hingga pusat. Selain itu, investor juga melihat keterbukaan menerima bidang usaha seluas-luasnya. Ini tercermin dari Daftar Negatif Investasi (DNI). (kaw)