Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Masih lesunya arus importasi ke Indonesia mengakibatkan terkontraksinya penerimaan pajak dalam rangka impor (PDRI). Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (19/12/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi impor sepanjang Januari—November 2019 tercatat senilai US$156,22 miliar. Capaian tersebut tercatat turun sekitar 9,87% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$173,34 miliar.
Bersamaan dengan hal tersebut, berdasarkan pemberitaan Kontan, realisasi penerimaan PDRI hingga akhir November 2019 tercatat senilai Rp209,58 triliun. Nilai tersebut tercatat turun 6,68% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp223,6 triliun.
Jika dibedah, penerimaan PDRI itu terdiri atas pertama, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) senilai Rp155,85 triliun atau turun 7,82% (year on year/yoy). Kedua, penerimaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor senilai Rp49,36 triliun atau turun 1,38% (yoy). Ketiga, penerimaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) senilai Rp4,37 triliun atau tumbuh 14,08% (yoy).
Hingga sekarang belum ada keterangan resmi terkait performa tersebut. Kementerian Keuangan dijadwalkan akan menggelar konferensi pers APBN Kita untuk kinerja APBN 2019 hingga akhir November pada hari ini.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti insentif fiskal yang sudah diberikan oleh pemerintah untuk pelaku usaha di sektor properti. Otoritas mulai menagih janji pertumbuhan sektor tersebut karena insentif sudah diberikan sejak tahun lalu.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak (DJP) Yunirwansyah mengatakan pada dasarnya penerimaan PDRI dipengaruh impor, baik itu barang konsumsi, bahan baku atau penolong, serta barang modal.
Namun, untuk penerimaan PPh pasal 22, koreksinya tidak sedalam penerimaan PPN impor. Hal ini dikerenakan sudah ada kebijakan tarif untuk beberapa jenis komoditas, terutama barang konsumsi, dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2018.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan insentif pajak yang telah diberikan kepada para pelaku usaha sektor properti perlu dikaji ulang terkait dengan dampak dan keefektifannya terhadap kinerja bisnis properti.
“Saya sedang menghitung berapa besar nilai pajak yang terasosiasi dengan suatu transaksi properti. Saya betul-betul meminta sektor properti mulai bekerja dengan meningkatkan pertumbuhannya,” katanya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas telah menyusun beberapa langkah mitigasi ‘efek samping’ omnibus law perpajakan. Salah satu fokusnya adalah mengamankan penerimaan pajak pada 2021.
Jika pembahasan dengan DPR berjalan lancar, omnibus law perpajakan akan berlaku efektif pada 2021. Langkah mitigasi yang akan dilakukan berupa kalkulasi ulang atas penetapan target penerimaan pajak. Hal ini berkaitan dengan pemangkasan tarif pajak penghasilan PPh badan dari 25% menjadi 20%.
“Langkah mitigasi dari mulai dari penyusuan anggaran di tahun depan yang untuk 2021, terutama dari penetapan target penerimaan pajak,” katanya.
Kementerian Keuangan mengeluarkan regulasi baru mengenai tata cara penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3). Dirilisnya regulasi ini untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan simplifikasi regulasi.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 186/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan NJOP PBB. Beleid ini pada gilirannya merevisi dan mencabut beleid sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 139/2014. (kaw)