Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 ikut menambah subjek pajak penghasilan (PPh) final UMKM, dari yang sebelumnya diatur dalam PP 23/2018. Penambahan subjek PPh final UMKM memperhatikan perkembangan model perusahaan yang bermunculan saat ini.
Topik ini menjadi salah satu yang paling disorot netizen dalam sepekan terakhir.Â
Penyuluh Pajak Ahli Madya Ditjen Pajak (DJP) Dedi Kusnadi menyampaikan sejatinya PP 55/2022 tidak mengubah ketentuan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% yang sudah termuat dalam PP 23/2018. Perubahan yang terjadi hanyalah penambahan subjek pajak, yakni masuknya PT perorangan, BUMDes, dan BUMDes Bersama.Â
Pada PP 55/2022, PT perorangan dan BUMDes/BUMDesma diberi kesempatan untuk memanfaatkan PPh final UMKM guna memenuhi kewajibannya menghitung dan membayar pajak. Skema PPh final dapat dimanfaatkan oleh PT perorangan dan BUMDes/BUMDesma selama 4 tahun pajak.
"Spesialnya, ia berbentuk PT tetapi enggak ikut skema yang 3 tahun. Ikut yang 4 tahun karena dia perorangan. Kalau PT kan biasanya 3 tahun ya," tutur Dedi.
Khusus bagi PT perorangan ataupun BUMDes/BUMDesma yang telah terdaftar sejak sebelum PP 55/2022 diundangkan, jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM dihitung sejak tahun pajak PP 55/2022 berlaku.
Dengan demikian, PT perorangan dan BUMDes/BUMDesma berkesempatan untuk memanfaatkan skema PPh final UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan terhitung sejak tahun pajak 2022 hingga tahun pajak 2025.
Bagi wajib pajak selain PT perorangan dan BUMDes/BUMDesma, jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM dihitung berdasarkan PP 23/2018. Baca artikel lengkapnya, 'DJP Sebut Subjek PPh Final UMKM Ditambah Lewat PP 55/2022'.
Topik perpajakan terpopuler selanjutnya, kembalinya rasio perpajakan Indonesia ke level double digit, yakni 10,39% sepanjang 2022 lalu. Angka tersebut setara dengan proyeksi Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, sebesar 10,4%.Â
Berdasarkan laporan APBN Kita, penerimaan perpajakan 2022 mencapai Rp2.034,5 triliun dan PDB nominal mencapai Rp19.588,4 triliun. Dengan realisasi tersebut, rasio perpajakan pada 2022 mencapai 10,39%.
"Memang ada peningkatan yang cukup signifikan, ini sudah melampaui tax ratio sebelum pandemi Covid-19," kata Kepala BKF Febrio Kacaribu.
Sebagai perbandingan, rasio perpajakan pada 2021 dan 2020 hanya sebesar 9,11% dan 8,33%. Pada 2021, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.547,8 triliun. Sementara itu, penerimaan perpajakan 2020 terealisasi sejumlah Rp1.285,1 triliun. Baca artikel lengkapnya, 'Kembali Dobel Digit, Rasio Perpajakan Indonesia Capai 10,39 Persen'.
Selain 2 artikel di atas, masih ada sejumlah pemberitaan perpajakan yang juga menyedot atensi warganet dalam sepekan terakhir. Berikut ini adalah 5 artikel DDTCNews terpopuler yang menarik untuk disimak:
1. Genjot Investasi, ESDM Matangkan Revisi PP tentang Perpajakan Migas
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mematangkan perubahan beleid yang selama ini mengatur tentang aspek perpajakan kegiatan usaha hulu migas.
Ada 2 beleid yang akan direvisi, yakni PP 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split, serta PP 27/2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas.
"Dukungan regulasi dan kebijakan yang diperlukan ... revisi PP53/2017 dan PP 27/2017 tentang perpajakan kontrak kerja sama (KKS)," tulis Kementerian ESDM dalam laporan Capaian Kinerja Sektor ESDM 2022 dan Target 2023.
2. DJPK Sebut Direktorat Pajak Daerah Terbentuk Paling Lambat 1 Juli 2023
Pembentukan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) ditargetkan dapat terealisasi paling lambat pada 1 Juli 2023.
Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan pembentukan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut merupakan bagian dari penajaman fungsi dan penyederhanaan birokrasi melalui delayering.
"Kami ada penajaman sesuai dengan amanat UU HKPD. Kami juga akan lebih fokus bagaimana untuk menggali lebih banyak lagi [penerimaan] pajak daerah dan retribusi daerah," katanya.
3. Roadmap Industri Rokok Masih Digodok, Kemenkeu Fokus Soal Cukai
Pemerintah masih memproses penyusunan peta jalan (roadmap) terkait dengan pengelolaan industri hasil tembakau di Indonesia. Dalam penyusunan roadmap tersebut, Kementerian Keuangan ikut terlibat.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan Kementerian Keuangan menjadi institusi yang bertugas untuk menyusun kebijakan cukai, baik dari sisi tarif maupun layer.
"Kebijakan cukai ditujukan untuk pengendalian konsumsi yang sejalan dengan penerimaan negara, serta mengantisipasi adanya produk baru," katanya.
4. Tak Hanya ASN, TNI/Polri Juga Wajib Lapor Harta di SPT Tahunan
Pemerintah mewajibkan anggota TNI/Polri untuk melaporkan harta kekayaannya pada SPT Tahunan dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Negara (LHKAN).
Merujuk pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) 02/2023, selama ini ASN telah diwajibkan melaporkan hartanya melalui Laporan Harta Kekayaan ASN (LHKASN). Namun, surat edaran yang lama belum mengatur secara terperinci kewajiban pelaporan LHKASN bagi anggota TNI dan Polri.
"Mempertimbangkan berbagai kondisi di atas maka dipandang perlu untuk memperluas ruang lingkup kewajiban pelaporan harta kekayaan terhadap seluruh aparatur negara sekaligus memastikan efektivitas kewajiban pelaporan harta kekayaan," bunyi Surat Edaran Menteri PANRB 02/2023.
5. WP Tak Berpenghasilan, DJP: Langsung Ajukan Non-Efektif Saja NPWP-nya
Periode pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib pajak orang pribadi tersisa 2 bulan, sebelum batas akhirnya pada 31 Maret 2023. Kewajiban melaporkan SPT Tahunan ini melekat sepanjang status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masih aktif.
Lantas bagaimana jika wajib pajak tidak memiliki penghasilan? Wajib pajak yang NPWP-nya berstatus aktif tetapi tidak memiliki penghasilan tetap wajib lapor SPT Tahunan. Dengan kondisi tersebut, wajib pajak bisa lapor SPT Tahunan dengan Form 1770SS status Nihil.
"Silakan melaporkan Nihil. Ke depannya jika tidak ada penghasilan langsung ajukan Non-Efektif (NE) saja NPWP-nya," tulis Ditjen Pajak (DJP) saat menjawab pertanyaan warganet. (sap)