Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rasio perpajakan Indonesia pada tahun lalu akhirnya kembali ke level dobel digit, yaitu sebesar 10,39%. Angka tersebut juga setara dengan proyeksi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebesar 10,4%.
Berdasarkan laporan APBN Kita, penerimaan perpajakan 2022 mencapai Rp2.034,5 triliun dan PDB nominal mencapai Rp19.588,4 triliun. Dengan realisasi tersebut, rasio perpajakan pada 2022 mencapai 10,39%.
"Memang ada peningkatan yang cukup signifikan, ini sudah melampaui tax ratio sebelum pandemi Covid-19," kata Kepala BKF Febrio Kacaribu, dikutip pada Selasa (7/2/2023)
Sebagai perbandingan, rasio perpajakan pada 2021 dan 2020 hanya sebesar 9,11% dan 8,33%. Pada 2021, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.547,8 triliun. Sementara itu, penerimaan perpajakan 2020 terealisasi sejumlah Rp1.285,1 triliun.
Selain itu, Indonesia juga mampu mencatatkan tax buoyancy di atas 1. Tax buoyancy di atas 1 menandakan penerimaan perpajakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Pada 2022, penerimaan perpajakan tumbuh 31,4%. Sementara itu, PDB nominal tumbuh 15,38%. Alhasil, tax buoyancy pada 2022 mampu mencapai 2,04.
Kendati rasio perpajakan Indonesia kembali ke level di atas 10%, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah, terutama dalam meningkatkan rasio perpajakan hingga di atas 15%, demi menjaga ketahanan fiskal dan mendanai kebutuhan pembangunan.
"Negara yang sustain itu diharapkan setidaknya mengumpulkan tax ratio 15%, termasuk kepabeanan dan cukai. Kami masih ada ruang untuk kita improve ke arah sana," ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.
Dengan demikian, perbaikan kebijakan perpajakan dan peningkatan kepatuhan wajib pajak tetap harus terus dilakukan guna mengurangi policy gap dan compliance gap yang masih menghambat kinerja penerimaan. (rig)