Dirjen Bea dan Cukai Askolani.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah masih memproses penyelesaian aturan pelaksana prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan Kementerian Sekretariat Negara telah memberikan restu kepada Kementerian Keuangan untuk menyusun aturan teknis soal ultimum remedium pelanggaran cukai.
Ketentuan tersebut juga telah termuat dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan memerlukan aturan pelaksana berupa 1 peraturan pemerintah (PP) dan 2 peraturan menteri keuangan (PMK).
"On process. Bulan lalu sudah dapat izin dari Presiden, dari Setneg. Itu kemudian menjadi basis kita untuk menyiapkan [aturan turunan UU HPP]," katanya, dikutip pada Minggu (28/8/2022).
Askolani menuturkan penyusunan aturan turunan UU HPP tidak mudah karena salah satunya berupa PP. Namun, ia menegaskan akan berupaya menyelesaikan semua ketentuan mengenai ultimum remedium pelanggaran di bidang cukai pada tahun ini.
UU HPP mengubah UU 39/2007 tentang Cukai dengan memperkenalkan prinsip ultimum remedium dalam menangani pelanggaran cukai. UU HPP juga mengatur penyesuaian sanksi administrasi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.
Melalui ketentuan dalam UU HPP, pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran cukai. Dalam hal hasil penelitian merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai maka dapat diselesaikan dengan membayar sanksi administratif.
Penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai hanya dibatasi pada 5 pasal yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelima pasal tersebut terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku utnuk membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Perubahan juga berlaku pada Pasal 64 UU Cukai mengenai pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Pada UU Cukai yang berlaku, penghentian penyidikan wajib membayar pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun melalui UU HPP, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pelaku juga bisa terhindar dari pidana penjara saat perkara sudah masuk ke pengadilan dan sudah membayar sanksi administratif.
"Bahannya sudah kami siapkan. Jadi nanti percepatan saja. Mudah-mudahan tahun ini kami selesai, secepatnya," ujar Askolani. (rig)