Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menyatakan pengaturan perpajakan teknologi finansial (financial technology/fintech) perlu dilakukan untuk memberikan perlakuan yang setara antara sektor keuangan konvensional dan digital.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan ketentuan itu telah tertuang dalam Pasal 32A UU KUP s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Platform fintech ditunjuk untuk membuat bukti potong dan menyetorkan pajak kepada DJP.
"Hak dan kewajiban perpajakan antara industri keuangan konvensional dan fintech harus adil dan setara untuk menciptakan level playing field," katanya dalam program Expert Lab: Implementasi UU HPP yang diadakan Aftech, dikutip pada Selasa (3/5/2022).
Neilmaldrin mengatakan penyedia jasa keuangan konvensional serta industri fintech harus mendapatkan perlakuan perpajakan yang adil dan setara. Hal ini diperlukan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat karena implementasi peraturan perpajakan juga berjalan dengan pengawasannya.
Pemerintah bermaksud meningkatkan penerimaan pajak dan membuat kesetaraan level berusaha melalui penunjukkan pemotong dan pemungut withholding tax. Neilmaldrin berharap ketentuan ini akan membuat pajak yang seharusnya terutang melalui peraturan sebelumnya dapat terbayarkan dengan baik.
"Karena kurangnya kesadaran kepatuhan dalam membayar pajak dari masing-masing penerima penghasilan maka akan dilakukan pemotongan langsung melalui merchant sehingga lebih efektif, efisien, dan tidak mengganggu industri digital itu sendiri," ujarnya.
Melalui PMK 69/2022, pemerintah menerapkan ketentuan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyelenggaraan fintech mulai 1 Mei 2022. Simak ‘Mulai Berlaku Hari Ini! Pengenaan PPh dan PPN atas Jasa Fintech’.
Beberapa hal yang diatur antara lain mengenai penunjukan pemotong PPh dan pengenaan PPh atas penghasilan sehubungan dengan transaksi layanan pinjam meminjam serta perlakuan PPN atas jasa penyelenggaraan fintech.
Pasal 3 beleid itu menyebut atas penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman online dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Hal ini berlaku jika penerima penghasilan merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Kemudian, ada pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilan merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Tarif PPh Pasal 23 dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto atas bunga. Sementara itu, tarif PPh Pasal 26 ditetapkan sebesar 20% dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
Adapun PPN dikenakan atas penyerahan jasa penyelenggaraan fintech oleh pengusaha. Adapun jasa penyelenggara fintech tersebut di antaranya penyediaan jasa pembayaran, penyelenggaraan penyelesaian transaksi investasi, penyelenggaraan perhimpunan modal, layanan pinjam meminjam, penyelenggaraan pengelolaan investasi, serta layanan penyediaan produk asuransi online. (kaw)