Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengatur empat kebijakan di bidang perpajakan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang diterbitkan untuk memitigasi efek virus Corona.
Perppu itu adalah Perpu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Untuk melaksanakan APBN 2020 dan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan. Baca artikel 'Terbit, Perpu Kebijakan Keuangan Negara & Stabilitas Sistem Keuangan'.
“Kebijakan keuangan negara … meliputi kebijakan pendapatan negara, termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan,” demikian bunyi pasal 1 ayat (4) Perpu ini.
Adapun di bidang perpajakan ada 4 kebijakan yang diatur. Pertama, penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT). Kedua, perlakuan perpajakan dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Ketiga, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Keempat, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk untuk penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
“PMSE … merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik,” demikian bunyi penggalan pasal 4 ayat (2) beleid tersebut.
Dengan demikian, setidaknya ada dua kebijakan, yaitu penyesuaian tarif PPh badan dan perlakuan perpajakan dalam kegiatan PMSE, yang awalnya masuk dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Simak artikel ‘Dengan Perppu, Pemerintah Turunkan Tarif PPh Badan Jadi 22%’.
DDTC Fiscal Research sebelumnya juga merilis Policy Note bertajuk ‘Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian: Suatu Catatan’. Untuk memperoleh kajian tersebut, silakan download di sini.
Mayoritas kebijakan pajak yang masuk dalam Perppu itu menitikberatkan pada fungsi regulerend. Pajak hadir untuk bahu membahu bersama semua pihak dan masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat COVID-19. Simak Perspektif ‘Pajak Hadir Lawan Dampak Korona’.
Dalam analisis DDTC Fiscal Research sebelumnya, terdapat 151 yurisdiksi dari berbagai wilayah yang merespons dampak dari COVID-19 melalui kebijakan fiskal. Dari jumlah tersebut, 112 yurisdiksi telah (atau berencana) menggunakan instrumen pajak. Simak artikel ‘DDTC Fiscal Research: 112 Negara Pakai Instrumen Pajak Hadapi COVID-19’.
Perppu ini berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 31 Maret 2020. Kendati demikian, sesuai Undang-Undang (UU) No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpu masih harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan).
Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perpu menjadi UU. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu. Jika Perpu mendapat persetujuan DPR, Perpu ditetapkan menjadi UU.
Jika tidak mendapat persetujuan DPR, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Jika Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu.
RUU tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu. RUU ini ditetapkan menjadi UU tentang Perpu dalam rapat paripurna yang sama dengan penolakan (tidak ada pemberian persetujuan) dari DPR. (kaw)