JAKARTA, DDTCNews – Undang-Undang (UU) Kepabeanan memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan audit kepabeanan. Di sisi lain, UU Cukai juga memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan audit cukai.
Perincian ketentuan pelaksanaan audit kepabeanan dan cukai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 114/2024 dan Perdirjen Bea dan Cukai No. PER-2/BC/2025. Berdasarkan kedua beleid itu, ada sejumlah kewajiban yang perlu diperhatikan oleh auditee.
“Auditee adalah Orang yang diaudit oleh Tim Audit,” bunyi Pasal 1 angka 13 PMK 114/2024, dikutip pada Selasa (11/11/2025).
Orang dalam konteks ini berarti bukan berarti hanya orang pribadi melainkan juga orang perseorangan serta badan hukum. Ringkasnya, auditee adalah orang perseorangan atau badan hukum yang diaudit oleh tim audit Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
Sebagai pihak yang sedang diaudit, Pasal 15 ayat (1) PMK 114/2024 mengatur 5 kewajiban yang harus dipenuhi auditee sepanjang pelaksanaan audit. Pertama, harus menandatangani pakta integritas bersama dengan tim audit. Kedua, wajib menyerahkan data audit serta menunjukkan sediaan barang untuk diperiksa.
Data audit berarti laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, dan/atau catatan sediaan barang serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
Ketiga, wajib memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis. Keempat, harus menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus.
Kelima, wajib menyerahkan contoh barang dari sediaan barang dalam hal diperlukan untuk menunjang pemeriksaan data audit. Sediaan barang berarti semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
Selain itu, auditee juga harus bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kelengkapan data audit, keterangan lisan dan/atau tertulis, dan contoh barang yang telah diserahkan kepada tim audit saat pelaksanaan audit kepabeanan dan/atau audit cukai. Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PMK 114/2024.
Di sisi lain, auditee setidaknya memiliki 5 hak selama pelaksanaan audit. Pertama, melihat tanda pengenal tim audit. Kedua, menerima surat tugas dan daftar kuesioner audit (DKA) atau surat perintah pelaksanaan audit. Ketiga, memperoleh penjelasan mengenai maksud dan tujuan audit.
Keempat, menerima surat tugas atau surat perintah terbaru dari tim audit dalam hal terjadi perubahan susunan keanggotaan tim audit. Kelima, terjaga kerahasiaan atas segala informasi yang telah diberikan kepada tim audit dari pihak lain yang tidak berhak.
Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PMK 114/2024, ada 6 pihak yang bisa menjadi auditee dalam audit kepabeanan. Simak Apa Itu Audit Kepabeanan?
Keenam pihak tersebut meliputi: importir; eksportir; pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS); pengusaha tempat penimbunan berikat (TPB); pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK); dan pengusaha pengangkutan.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK 114/2024, ada 5 pihak yang bisa menjadi auditee di dalam audit cukai. Kelima pihak tersebut meliputi: pengusaha pabrik barang kena cukai (BKC); pengusaha tempat penyimpanan BKC; importir BKC; penyalur BKC; serta pengguna BKC yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah audit kepabeanan dan audit cukai berbeda dengan audit pada umumnya. Sebab, audit kepabeanan dan audit cukai bukan dilakukan untuk menilai atau memberikan opini tentang laporan keuangan.
Adapun audit kepabeanan dan audit cukai lebih ditujukan untuk menguji kepatuhan pihak tertentu terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan atau cukai. Simak Apa Itu Tim Audit Kepabeanan dan Cukai?
