JAKARTA, DDTCNews - Pesatnya perkembangan ekonomi digital diproyeksi dapat menimbulkan sedikitnya 13 jenis sengketa pajak, baik PPN maupun PPh. Buntutnya, pihak yang berselisih akan membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Pajak.
Hakim Pengadilan Pajak Junaidi Eko Widodo mengatakan sengketa biasanya muncul karena implementasi peraturan seperti perbedaan penafsiran atau masalah teknis penyetoran pajak. Ujungnya, fiskus dan wajib pajak bakal menyelesaikan perselisihan melalui Pengadilan Pajak.
"Ketika mengimplementasikan aturan perpajakan ranah digital, wajib pajak pelaku usaha ekonomi digital melakukan kewajiban dan haknya. Ternyata ada konflik terkait penafsiran peraturan ataupun penyetoran dan pembayaran. [Akhirnya] mereka akan lari ke Pengadilan Pajak," ujarnya dalam komPak: Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Selasa (4/11/2025).
Junaidi menjelaskan 13 jenis sengketa pajak yang mungkin saja timbul ketika pemerintah menerapkan regulasi pemajakan atas kegiatan digital, yang terbagi menjadi 5 potensi sengketa PPN, dan 8 sengketa PPh.
Pertama, sengketa yurisdiksi fiskal, di mana pelaku ekonomi digital asing menolak penunjukan karena tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia.
"Ketika menunjuk PMSE asing, seperti Netflix, Youtube, yang ditunjuk menjadi pemungut PPN PMSE, atas mereka sudah pernah diperiksa [atau] belum? Kalau nanti diperiksa, keluar SKP, mereka bisa mengajukan keberatan [atau] tidak? Saya cari aturannya belum ketemu. Ini sengketa yurisdiksi," papar Junaidi.
Kedua, penentuan objek PPN atau bukan. Junaidi menuturkan regulasi sebenarnya sudah jelas mengatur barang dan/atau jasa yang tergolong objek PPN. Namun pada praktiknya di lapangan, batasan tersebut agak buram sehingga pihak yang beracara harus membuktikannya di Pengadilan Pajak.
Ketiga, sengketa tarif PPN dan penentuan dasar pengenaan pajak (DPP). Contohnya, perselisihan tarif 11% atau 12%, dan penentuan DPP atas layanan digital.
"Ketika DJP mengimplementasikan ini, tentu harus punya aturan yang jelas dulu. Jadi pegangan, khususnya buat pemeriksa dalam menetapkan SKP itu cara menghitungnya bagaimana, dan sebagainya," imbau Junaidi.
Keempat, sengketa pengkreditan pajak masukan. Hakim Pengadilan Pajak itu menuturkan sering kali muncul permasalahan syarat formal dan material mengenai pajak masukan.
Kelima, sengketa pelaporan lintas negara bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) asing. Contoh, terdapat perbedaan kurs, waktu, sistem pelaporan, aspek tersebut vital karena dapat menimbulkan sengketa.
Keenam, sengketa penunjukan atau pencabutan pihak lain sebagai pemungut pajak. Misalnya, penyedia marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh atas penghasilan pedagang online.
Junaidi menyebut ada 3 pertanyaan besar yang berpotensi menjadi masalah seperti apakah penyedia marketplace dapat menolak penunjukan karena kapasitas hukum terbatas, serta penyedia marketplace menolak pencabutan karena menganggap DJP tidak memberikan dasar hukum yang memadai.
Selain itu, tempat penyelesaian sengketa juga akan dipertanyakan apakah melalui Pengadilan Pajak atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengingat status pihak lain bukan wajib pajak, melainkan mitra administrasi DJP.
Ketujuh, penentuan objek PPh atau bukan. Kedelapan, sengketa tarif PPh dan DPP. Contohnya, perselisihan terkait nilai lain transaksi bruto, diskon, ongkos kirim (ongkir), dan biaya layanan yang disediakan oleh marketplace.
"Ketika menghitung transaksi, di e-commerce itu kan suka ada diskon, cashback, bebas ongkir, dan lain-lain. Itu cara menghitungnya bagaimana? Itu PPh-nya yang mana?" tutur Junaidi.
Kesembilan, sengketa pelaporan dan penyetoran. Kesepuluh, sengketa atas ketidaksesuaian antara data transaksi elektronik PMSE dengan data pelaporan DJP. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan algoritma atau kesalahan teknis elektronik.
Kesebelas, ambiguitas posisi hukum PMSE, apakah sebagai wajib pajak atau agen pemungut negara yang berdampak pada hak dan kewajiban proseduralnya di hadapan hukum.
Kedua belas, pemotongan PPh ganda oleh PMSE dan oleh bendaharawan terkait PMK 58/2022. Ketiga belas, sengketa hak keberatan, mengingat belum ada mekanisme keberatan bagi penyedia marketplace.
"Dengan berbagai potensi-potensi permasalahan tersebut, yang paling penting adalah di prosedur pemeriksaan dan pengawasan. Karena sengketa pajak lebih banyak muncul karena proses di tahap pemeriksaan dan pengawasan dalam menentukan besaran SKP," tutup Junaidi. (dik)
