JAKARTA, DDTCNews - Otoritas Jasa Keuangan buka suara terkait keluhan pengusaha soal pengenaan PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto yang telah mendorong banyak investor kripto melakukan transaksi melalui exchanger asing.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengatakan pengenaan pajak atas transaksi aset kripto pada dasarnya bertujuan untuk menghadirkan kepastian hukum. Namun, OJK bersama Kementerian Keuangan terus memantau dampak kebijakan pajak tersebut terhadap industri kripto di dalam negeri.
"Kami bersama tentu rekan-rekan di Kementerian Keuangan menyadari bahwa penerapan kebijakan ini harus terus kita lakukan pemantauan dan evaluasi," katanya, dikutip pada Sabtu (11/10/2025).
Hasan mengatakan perumusan kebijakan pajak atas transaksi kripto telah dilakukan secara hati-hati dengan mengedepankan prinsip keadilan bagi industri kripto. Melalui pengenaan pajak, pemerintah berharap ada kontribusi dari sektor aset keuangan digital kepada penerimaan negara.
Meski demikian, OJK dan Kemenkeu menyadari penerapan kebijakan pajak atas transaksi aset kripto mesti terus evaluasi. Dalam hal ini, OJK dan Kemenkeu juga sama-sama tidak menginginkan kebijakan pajak justru mendorong konsumen domestik untuk melakukan atau mengalihkan transaksinya di exchanger luar negeri.
Tentu OJK mendorong agar ada terus sinergi kebijakan dengan otoritas fiskal untuk menyeimbangkan aspek kepatuhan dan daya saing industri, termasuk dengan memberikan insentif, misalnya, bagi entitas berizin yang patuh terhadap aturan dan memberikan perlindungan optimal bagi para konsumen kita," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Blockchain Indonesia menilai ketentuan PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto telah mendorong banyak investor kripto melakukan transaksi melalui exchanger asing.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia Yudhono Rawis menyebut sejumlah investor memilih bertransaksi melalui exchanger asing agar tidak dikenai pajak. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri kripto Indonesia.
"Karena pasar kripto itu tidak terbatas, jadi kalau misalnya user mau beli Bitcoin, contohnya, dia bisa memilih untuk beli mungkin di exchanger di luar atau pun di decentralized exchange," katanya dalam rapat panja RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) di Komisi XI DPR.
Pemerintah belum lama ini menerbitkan 3 peraturan baru mengenai perlakuan pajak atas transaksi aset kripto, yakni PMK 50/2025, PMK 53/2025, dan PMK 54/2025. Ketentuan tersebut mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Aset kripto kini dikategorikan sebagai aset keuangan yang dipersamakan surat berharga sehingga tidak lagi dikenakan PPN. Meskipun demikian, penghasilan yang diperoleh dari transaksi aset kripto tetap dikenai PPh final Pasal 22.
Besaran tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah sebesar 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri.
Di sisi lain, PMK 50/2025 sebetulnya turut memerinci mekanisme penunjukan bursa (exchanger) asing sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1% akan dikenakan apabila transaksi dilakukan melalui PPMSE luar negeri.
Sejauh ini, Ditjen Pajak belum melakukan penunjukan exchanger asing sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan aset kripto. Dengan demikian, wajib pajak yang menjual aset kripto melalui exchanger asing harus menyetorkan sendiri pajaknya. (dik)