JAKARTA, DDTCNews - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendorong pemerintah mengakhiri pemberian tarif cukai murah terhadap produk sigaret kretek tangan (SKT).
Chief Research and Policy CISDI Olivia Herlinda mengatakan dari tiga jenis rokok, SKT diberi aturan kenaikan tarif cukai yang berbeda, kurang dari 5%. Ia menilai alasan pemerintah memberikan tarif khusus bagi SKT untuk melindungi pekerja juga tidak tepat.
"Jika pemerintah terus mempertahankan rokok golongan SKT tetap murah, artinya negara memilih melanggengkan adiksi produk berbahaya dan memperdalam kemiskinan," ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip pada Minggu (21/9/2025).
Olivia menyampaikan sebagian besar rumah tangga pekerja SKT dan petani cengkeh hidup di bawah garis kemiskinan, dan risiko kesehatan dan risiko kerja yang sangat tinggi.
Di samping itu, dia menilai SKT lebih berbahaya bagi kesehatan lantaran mengandung saus atau campuran bahan sebagai perisa tambahan yang komposisinya dirahasiakan. Terlebih, sambungnya, kadar nikotin dan tar dalam SKT jauh lebih tinggi dibanding sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM).
"Reformasi cukai rokok 2026 perlu menjadi momentum penting untuk menyehatkan bangsa sekaligus memperkuat ekonomi yang berkeadilan," kata Olivia.
Untuk mendukung pemerintah tidak lagi menerapkan tarif cukai rendah terhadap produk SKT, CISDI merekomendasikan 4 langkah kebijakan. Pertama, menyederhanakan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) secara bertahap.
Misal, tahun pertama SKT dibagi menjadi dua golongan tarif cukai, lalu tahap berikutnya menggabungkan rokok putih maupun rokok kretek yang dibuat dengan mesin dalam satu golongan.
Selanjutnya, memastikan hanya ada dua golongan tarif, yaitu rokok buatan tangan dan rokok buatan mesin. Pada tahap akhir, seluruh produk tembakau dikenakan satu tarif tunggal sesuai rekomendasi WHO.
Kedua, menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) untuk semua jenis rokok secara signifikan. Ketiga, menyusun strategi transisi bagi sektor terdampak, khususnya pekerja linting dan petani cengkeh, melalui pelatihan, modal usaha, diversifikasi komoditas, dan dukungan sosial.
Keempat, membentuk kolaborasi lintas sektor dengan memfasilitasi proses transisi dengan dukungan anggaran dari APBN, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), pajak rokok daerah, serta penerimaan tambahan dari kenaikan tarif cukai. (rig)