Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencatat posisi utang pemerintah senilai Rp8.144,69 pada 31 Desember 2023.
Laporan APBN Kita edisi Januari 2024 menyatakan rasio utang tersebut terhadap PDB sebesar 38,59%. Rasio utang ini lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir 2022 yang sebesar 39,7%, serta saat puncak pandemi Covid-19 pada 2021 sebesar 40,74%.
"Rasio utang ini masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan Negara serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 di kisaran 40%," bunyi laporan APBN Kita, dikutip pada Kamis (18/1/2024).
Laporan ini menjelaskan pengelolaan utang pemerintah yang disiplin menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit pada 2023 yang mempertahankan sovereign credit rating Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global dan volatilitas pasar keuangan, antara S&P dan Fitch di level BBB/Stable dan R&I BBB+/positive.
Pemerintah juga senantiasa melakukan pengelolaan utang secara cermat dan terukur melalui komposisi mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo yang optimal. Selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,73%.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai 88,16%. Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
"Per 31 Desember 2023, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun," bunyi laporan tersebut.
Pengelolaan utang pemerintah melalui penerbitan SBN juga turut mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, inklusi keuangan, serta peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society. Sejalan dengan hal tersebut, kepemilikan investor individu di SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya mencapai 2,95 persen menjadi 7,72% pada periode ini.
Selanjutnya, bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko. Hal ini menjadikan perbankan sebagai pemilik SBN domestik terbesar, pada periode ini mencapai 26,51%, kemudian diikuti perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memegang sekitar 18,47%.
Di sisi lain, kepemilikan oleh Bank Indonesia tercatat sebesar 19,43% antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter. Investor asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,93% termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing. (sap)