Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti dalam ITF 2023.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan kini tengah menyusun rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) yang menjadi landasan untuk penerapan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan RPMK tentang penerapan pajak minimum global akan dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama kementerian lainnya lewat pembahasan antarkementerian. Selanjutnya, akan digelar public hearing atau dengar pendapat umum untuk menggali masukan dari stakeholders.
"Setelah pembahasan antarkementerian, akan kami adakan kembali [diskusi] dengan lebih detail," ujar Melani dalam International Tax Forum (ITF) 2023 Day 1, Selasa (24/10/2023).
Secara umum, PMK tentang penerapan pajak minimum global bakal mengatur tentang cakupan pajak minimum global dan pengecualiannya, pengenaan pajak tambahan atau top-up tax berdasarkan income inclusion rule (IIR) dan undertaxed payment rule (UTPR), serta penghitungan laba rugi GloBE.
Selanjutnya, PMK juga akan mendefinisikan pajak tercakup atau covered taxes, jenis pajak yang tercakup, alokasi pajak tercakup, penyesuaian pajak tercakup, dan penyesuaian pajak tangguhan.
Kemudian, PMK ini juga akan mendefinisikan tarif pajak efektif, persentase top-up tax, pengurangan berdasarkan substance based income exclusion (SBIE), hingga de minimis top-up tax.
PMK juga akan mengatur tata cara penyampaian surat pemberitahuan GloBE atau global information return (GIR) beserta safe harbor. Pada bab terakhir, PMK juga akan memuat ketentuan tentang ruang lingkup qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) atau pajak minimum domestik, penghitungan QDMTT, dan alokasi QDMTT.
Dengan konsensus atas Pilar 2 sudah tercapai, Indonesia mau tidak mau harus turut serta mengadopsi pilar tersebut. Pasalnya, Indonesia tetap akan terdampak bila yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) memutuskan untuk mengadopsi Pilar 2.
"Jika negara domisili investor menerapkan GloBE rules maka Indonesia tetap akan terdampak. It's not about choice, kadang-kadang ya mau enggak mau," ujar Melani.
Meski demikian, pajak minimum global hanya berdampak pada grup perusahaan multinasional dengan omzet di atas EUR750 juta. Dengan demikian, wajib pajak yang merupakan bagian dari perusahaan multinasional dengan omzet di bawah threshold tidak akan terdampak oleh Pilar 2 dan masih bisa menerima insentif tanpa perlu dikenai top-up tax.
Bagi wajib pajak penerima insentif yang merupakan bagian dari perusahaan multinasional beromzet di atas EUR750 juta, wajib pajak tersebut bakal dibebani top-up tax bila tarif pajak efektif yang ditanggung kurang dari 15%.
"Pemberian tax holiday di Indonesia tidak dapat menghentikan pengenaan top-up tax di negara domisili. Pengenaannya bisa lewat IIR oleh negara induk atau dari QDMTT oleh negara sumber," ujar Melani.
Untuk diketahui, Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan IIR sekaligus QDMTT mulai tahun depan, sedangkan UTPR akan diterapkan mulai 2025.
Top-up tax berdasarkan IIR dikenakan oleh yurisdiksi tempat UPE bermarkas bila perusahaan multinasional memiliki anak usaha di yurisdiksi lain yang dikenai pajak dengan tarif pajak efektif di bawah 15%.
Adapun QDMTT menjadi landasan bagi yurisdiksi sumber untuk menerapkan pajak minimum domestik atas laba korporasi multinasional yang kurang dipajaki, yakni memiliki tarif pajak efektif di bawah 15%.
Penerapan IIR dan QDMTT di Indonesia telah didukung oleh Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, Pasal 54 PP 55/2022, dan PMK tentang pajak minimum global yang masih dirancang. (sap)