Foto udara truk muatan kelapa sawit antre memasuki pabrik Permata Bunda di Pematang Panggang, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (17/7/2023). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/nym.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mengungkap alasan di balik perlunya peningkatan hilirisasi industri kelapa sawit nasional.
Direktur Jenderal Industri Argo Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengungkapkan hilirisasi industri sawit berhasil memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Di antaranya, optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (smallholder), penyediaan bahan pangan-nonpangan, hingga penyediaan bahan bakar terbarukan.Â
"Selain itu, meningkatkan perolehan devisa negara dari ekspor produk hilir, berkontribusi pada keuangan negara melalui penerimaan pajak dan bukan pajak, serta menyuplai kebutuhan dunia terhadap pangan dan energi (feeding and energizing the world)," ungkap Putu dalam keterangannya, dikutip pada Selasa (15/8/2023).
Putu juga menegaskan Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix) secara konsisten dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit. Hal ini didasari melalui Peraturan Pemerintah (PP) 14/2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035 dan beberapa peraturan tentang Kebijakan Industri Nasional.
"Peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian 13/2010 yang menjadi prakarsa penentuan prioritas pengembangan industri hilir kelapa sawit," kata Putu.Â
Terdapat dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit, yaitu kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, serta insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.Â
Dalam sejarahnya, hilirisasi industri kelapa sawit konsisten dijalankan sejak 2007. Pada saat itu ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mencapai 60% dari total ekspor kelapa sawit nasional. CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, nonpangan, dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh pasar domestik.
"Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan," tutur Putu.Â
Pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya sekitar 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitas refinery meningkat 3Â kali lipat menjadi 75 juta ton pada 2022.
Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini telah mencapai 17,5 juta ton per tahun. Kemudian, kapasitas terpasang industri oleofood mencapai 2,7 juta ton per tahun dan kapasitas terpasang industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun.
Kontribusi Besar terhadap PDB
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada 2019 dan 2022, industri kelapa sawit nasional berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Hingga saat ini, industri kelapa sawit dari sektor hulu sampai hillir mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang dan menghidupi lebih dari 21 juta jiwa.
Dalam aspek kuantitatif, ekspor produk industri kelapa sawit mencapai total volume 282 juta metrik ton (ME) dengan total nilai US$176,84 miliar selama periode 2015-2022. Dari kinerja ekspor tersebut, negara melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menerima pendapatan pungutan ekspor senilai Rp182 triliun.
Dana tersebut telah digunakan sekitar Rp152 triliun untuk menjaga keberlanjutan kelapa sawit nasional melalui program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kualitas SDM, riset dan pengembangan sawit, advokasi dan kampanye positif sawit, serta peningkatan sarana dan prasarana termasuk insentif mandatory biodiesel. (sap)