Ilustrasi. Sejumlah buruh rokok memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (20/6/2023). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/2023 yang mengubah nama kawasan industri hasil tembakau (KIHT) menjadi aglomerasi pabrik hasil tembakau (APHT).
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Encep Dudi Ginanjar mengatakan pengusaha pabrik yang menjalankan kegiatan di tempat APHT akan diberikan beberapa kemudahan, sekaligus kepastian hukum bagi penyelenggara dan pengusaha barang kena cukai.
"Kami berharap kemudahan ini dapat dimanfaatkan oleh pengusaha pabrik hasil tembakau pada skala IKM dan UMKM, serta mendukung pelaksanaan pemanfaatan DBH CHT, terutama perihal program pembinaan industri," katanya, dikutip pada Jumat (28/7/2023).
Encep menuturkan APHT merupakan pengumpulan atau pemusatan pabrik dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Aglomerasi ini bertujuan meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau.
Aglomerasi pabrik diperuntukkan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan menengah (IKM) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
APHT dapat dilaksanakan pada 4 tempat yaitu kawasan industri, kawasan industri tertentu, sentra industri kecil dan industri menengah, dan tempat pemusatan industri tembakau lainnya yang memiliki kesesuaian dengan tata ruang wilayah.
Tempat diselenggarakannya APHT merupakan tempat yang peruntukan utamanya bagi industri hasil tembakau.
Kegiatan yang dapat dilakukan di APHT meliputi penyelenggaraan tempat aglomerasi pabrik, kegiatan menghasilkan barang kena cukai (BKC) berupa hasil tembakau, serta mengemas BKC hasil tembakau dalam kemasan untuk penjualan eceran dan pelekatan cukai.
Pengusaha pabrik yang menjalankan kegiatan di APHT diberikan 3 kemudahan. Pertama, perizinan di bidang cukai berupa pengecualian dari ketentuan memiliki luas lokasi, bangunan, atau tempat usaha, yang akan digunakan sebagai pabrik hasil tembakau.
Kedua, kerja sama dilakukan untuk menghasilkan BKC hasil tembakau. Ketiga, penundaan pembayaran cukai yang diberikan dalam jangka waktu penundaan 90 hari.
Encep menyebut penyelenggara APHT harus memenuhi persyaratan tempat aglomerasi pabrik, persyaratan penyelenggara, dan kewajiban penyelenggara.
Bagi penyelenggara aglomerasi pabrik yang telah memenuhi persyaratan dapat menyampaikan permohonan dan melakukan pemaparan proses bisnis kepada kepala kanwil atau kepala KPU tempat usaha tersebut dijalankan.
Pengusaha pabrik hasil tembakau yang akan menjalankan kegiatan usaha pada APHT juga wajib memiliki nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC).
"Untuk mendapatkan NPPBKC, pengusaha pabrik hasil tembakau harus mengajukan permohonan NPPBKC sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan di bidang cukai dan juga melakukan pemaparan proses bisnis," ujarnya.
Encep menambahkan PMK 22/2023 mencabut PMK 21/2020 yang selama ini mengatur soal KIHT. Pada saat aturan ini diberlakukan, pemerintah telah menetapkan 2 KIHT, yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan hasil monitoring, ketentuan soal KIHT dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan aturan baru soal APHT untuk lebih memudahkan pelaku industri hasil tembakau. (rig)