KEBIJAKAN PAJAK

Kejar Perbaikan Tax Ratio Hingga 15%, Strategi Ini Perlu Disiapkan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 17 Mei 2023 | 11.30 WIB
Kejar Perbaikan Tax Ratio Hingga 15%, Strategi Ini Perlu Disiapkan

Founder DDTC Darussalam saat mengisi seminar nasional Upaya Menggenjot Tax Ratio oleh Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang, Rabu (17/5/2023).

PADANG, DDTCNews - Pemerintah Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk mendongkrak tax ratio. Founder DDTC Darussalam menilai potensi optimal tax ratio Indonesia sebenarnya bisa mencapai 15% hingga 18%. Namun, pada 2022 lalu tax ratio Indonesia masih bertahan di level 10,4%. 

Angka tax ratio 15% hingga 18% dinilai paling ideal bagi Indonesia untuk bisa mendanai seluruh program pembangunan dan tentunya mengurangi ketergantungan utang. Apalagi saat ini Indonesia masih diketagorikan sebagai negara dengan tax effort yang rendah, yakni baru 0,6. Artinya, baru 60% potensi penerimaan pajak yang sudah berhasil dipungut oleh pemerintah. 

"Kalau 100% potensi bisa digali dengan baik, Indonesia masih perlu utang tidak? Setidaknya [potensi penerimaan yang tergali optimal] cukup untuk membiayai pembangunan. Kita bisa mengurangi utang dengan menggali penerimaan pajak yang optimal," ujar Darussalam dalam seminar nasional bertajuk Upaya Menggenjot Tax Ratio yang digelar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (FE UNP), Rabu (17/5/2023). 

Upaya menggenjot tax ratio ini bukannya tanpa tantangan. Sepanjang 2023-2024, pemerintah Indonesia dihadapkan pada 2 tantangan utama terhadap penerimaan. Pertama, tren penurunan harga komoditas yang masih berlanjut. Kedua, tambahan penerimaan yang tidak berulang dari kenaikan tarif PPN dan program pengungkapan sukarela (PPS).

Sebagai respons terhadap tantangan-tantangan yang ada, imbuh Darussalam, pada tahun-tahun yang akan datang pemerintah perlu mulai mengejar potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi yang tergolong undertaxed. Suatu sektor dikategorikan undertaxed atau kurang dipajaki bila kontribusinya terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak.

Sektor ekonomi yang tergolong undertaxed tersebut antara lain konstruksi, pertambangan, dan pertanian. Terhadap ketiga sektor tersebut, ada indikasi munculnya policy gap dan compliance gap.  

Darussalam mengatakan sektor konstruksi berkontribusi sebesar 9,8% terhadap PDB. Meski demikian, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 4,1%. Darussalam mengatakan fenomena ini muncul karena pemberlakuan PPh final pada sektor konstruksi.

Adapun kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB tercatat mencapai 12,2%. Namun, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 8,3%. Menurut Darussalam, rendahnya setoran pajak dari sektor pertambangan disebabkan oleh maraknya praktik penghindaran pajak dan banyaknya pertambangan ilegal yang masuk dalam shadow economy.

Selanjutnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tercatat mencapai 12,4%. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,4%. Darussalam menilai pemerintah memang banyak memberikan fasilitas pada sektor pertanian guna meringankan beban rumah tangga tidak mampu. 

"Ini menjadi tantangan tersendiri. Karenanya, perlu ada kebijakan transisi untuk meningkatkan setoran pajak dari sektor-sektor yang undertaxed tersebut secara bertahap," ujar Darussalam di hadapan ratusan civitas academica FE UNP.

Menurut Darussalam, pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan transisi guna meningkatkan setoran pajak dari sektor-sektor yang undertaxed tersebut secara bertahap. 

Darussalam juga menyoroti kontribusi jenis pajak utama terhadap total penerimaan pajak. Pada 2021-2022, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri menyumbang porsi terbesar, yakni hingga 22,7% terhadap penerimaan pajak perlu dipertahankan. Menurutnya, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat sehingga konsumsi bisa terjaga. 

Kendati begitu, ada catatan yang digarisbawahi Darussalam terkait dengan kontribusi penerimaan pajak ini. Pemerintah didorong agar memberikan perhatian khusus terhadap kinerja PPh orang pribadi yang notabene dibayar oleh wajib pajak pelaku usaha. Kontribusi PPh orang pribadi terhadap penerimaan pajak masih sebesar 0,7%.

"Kalau kita bandingkan dengan banyak negara, justru di negara-negara maju itu kontribusi paling besar berasal dari PPh orang pribadi. Sebaliknya, di Indonesia ternyata itu yang paling tidak berkontribusi," ujar Darussalam.

Darussalam menilai setoran PPh orang pribadi dapat ditingkatkan lewat optimalisasi kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memberikan ruang bagi otoritas pajak untuk mengambil langkah tersebut.

Selain itu, Darussalam mengingatkan bahwa komposisi (tax mix) yang tidak merata dan tidak terdistribusi dengan baik bisa berisiko bagi penerimaan jangka panjang, khususnya saat terjadi shock.

Darussalam juga berpandangan pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak ekonomi digital. Pemberlakuan PPN PMSE tercatat mampu mengumpulkan penerimaan senilai Rp10,11 triliun pada 2020 hingga 2022.

Masalahnya, ujar Darussalam, pemerintah masih belum memberlakukan kebijakan yang sejenis atas marketplace domestik. Kewenangan bagi pemerintah untuk menunjuk penyelenggara marketplace domestik sebagai pemungut atau pemotong pajak telah ditetapkan berdasarkan UU HPP.

"Kalau ini tidak dipungut sedangkan yang dari luar negeri sudah dikenakan, berarti tidak ada level playing field antara pemain dalam negeri dan luar negeri," ujar Darussalam. 

Terakhir, upaya mendongkrak tax ratio juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak UMKM. Pemerintah, ujarnya, perlu menyusun terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kepatuhan pajak pelaku UMKM. 

Mendukung penjelasan Darussalam, Dosen FE UNP Eka Fauzihardani juga menilai upaya menggenjot tax ratio di Indonesia memang dihadapkan sejumlah tantangan, khususnya dari aspek perilaku perpajakan. Menurut Eka, upaya perbaikan tax ratio sebenarnya sejalan dengan fenomena bonus demografi pada 2025-2035.

Jumlah generasi produktif yang makin banyak, ujar Eka, bisa menjadi modal besar bagi pemerintah untuk menaikkan kinerja tax ratio. Eka mengungkapkan ada resep utama yang perlu diramu pemerintah untuk memperbaiki tax ratio

"Kalau kita mau naikkan tax ratio, kuncinya kepatuhan pajak. Kalau mau perbaiki kepatuhan, kuncinya bangun kepercayaan ke otoritas. Kalau bangun kepercayaan, pertama, perlu saling menghargai antara fiskus dan wajib pajak. Kedua, fiskus harus perlakukan wajib pajak sebagai pihak yang dapat dipercaya," kata Eka. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.