Ketua Umum ATPETSI/Pemimpin Umum DDTCNews Darussalam dalam Talk Show Memaknai Kebijakan Baru PPN.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah secara resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022 lalu. Ketentuan ini merupakan amanat dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid ini juga mengatur kenaikan tarif PPN menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 mendatang.Â
Berbarengan dengan implementasi penyesuaian tarif PPN ini, pro dan kontra bermunculan. Apalagi momentum kenaikan PPN ini dilakukan di tengah pemulihan ekonomi dan lonjakan harga sejumlah kebutuhan pokok. Lantas apakah kenaikan tarif PPN ini sudah dilakukan di waktu yang tepat?
Ketua Umum ATPETSI/Pemimpin Umum DDTCNews Darussalam menyampaikan pandangannya secara gamblang. Mengacu pada tren penerapan PPN di berbagai negara di dunia (Goods and Services Tax/GST), diketahui bahwa tarif PPN 11% yang diterapkan Indonesia saat ini terbilang masih rendah dan di bawah rata-rata global.Â
Berdasarkan data yang dihimpun DDTC Fiscal Research & Advisory dari 127 negara, rata-rata tarif PPN per 2020 adalah sebesar 15,4%. Sementara di 31 negara Asia, rata-rata tarif PPN tercatat 12%. Sedangkan di Asean saja, tarifnya berada di rentang 7%-12%.Â
Dalam 1 dekade terakhir, tercatat juga ada kenaikan tarif standar (umum) PPN secara global. Sepanjang 2010-2020, tarif standar PPN di dunia meningkat 0,5%.Â
"Dalam konteks Indonesia, kita juga tidak menutup mata. Barang-barang yang tadinya tidak dikenakan pajak itu dikeluarkan dari pengecualian, namun melihat kondisi saat ini tetap diberikan perlakuan khusus yakni semacam pemberian fasilitas," ujar Darussalam dalam Talk Show Memaknai Kebijakan Baru PPN, Selasa (5/4/2022).Â
Dalam acara yang digelar atas kerja sama DDTCNews dan Ditjen Pajak (DJP) ini, Darussalam juga menekankan bahwa pemerintah pun memilih menaikkan tarif PPN secara bertahap menuju 12% sesuai dengan amanat UU HPP. Artinya, ujarnya, pemerintah masih mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi secata bertahap dan tidak gegabah.Â
"Ini kenaikannya sangat wajar dan 10% pun angkanya sudah lama ya, sejak 1983. Sementara kebutuhan dana pembangunan terus naik, ingat dana pajak itu kita nikmati semua. Jadi dengan kurun waktu sejak 1983 dan saat ini 2022 kalau di-compare dengan negara lain yang dalam 1 dekade sudah mulai menaikkan tarif PPN-nya 1%-2% menurut saya wajar lah," kata Darussalam.
Kenaikan tarif PPN pun, imbuhnya, tidak serta merta dikenakan kepada seluruh barang dan jasa. Barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan kini juga diberikan fasilitas pembebasan PPN tidak dipungut meski sudah menjadi objek PPN.Â
Dengan menjadikan sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan dari pengenaan PPN menjadi objek pajak, pemerintah dinilai ingin mengembalikan kemurnian sistem PPN sebagai pajak atas konsumsi. Menurut Darussalam, prinsip ini ditempuh dengan memperluas basis pemajakan atas barang dan jasa menuju full taxation.Â
Di samping itu, belajar dari implementasi penerapan PPN di banyak negara, pengecualian sejumlah barang kebutuhan pokok dari PPN justru akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Artinya, kebijakan ini justru dinilai salah sasaran dalam arti khusus.Â
"Jadi insentif barang kebutuhan pokok, salah sasaran ya. Masyarakat tidak mampu kebanyakan konsumsi di pasar tradisional yang tidak ada mekanisme PPN. Sehingga kalapun diberikan insentif, mereka tidak menikmati. PPN ini berlaku di pasar modern yang ada mekanisme PPN. Sehingga yang menikmati fasilitas PPN ini justru masyarakat mampu," kata Darussalam.Â
Darussalam menekankan bahwa langkah yang diambil pemerintah saat ini terbilang cukup bijak. Artinya, pemerintah ingin mengembalikan PPN sesuai prinsip awalnya, namun tetap mengakomodir kondisi perekonomian dan kebutuhan masyarakat. (sap)