KINERJA FISKAL

6 Faktor Ini Tentukan Nasib Penerimaan Pajak 2022

Dian Kurniati
Kamis, 19 Agustus 2021 | 12.44 WIB
6 Faktor Ini Tentukan Nasib Penerimaan Pajak 2022

Ilustrasi penerimaan pajak

JAKARTA, DDTCNews - Ada 6 faktor yang memengaruhi pencapaian target penerimaan pajak pada 2022. Keenamnya tertuang dalam Dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 yang dirilis pemerintah.

Dalam dokumen tersebut, pemerintah menyebut risiko dampak perubahan ekonomi makro terhadap pendapatan negara 2022 berada pada level sedang dan likelihood.

Meski begitu, pemerintah tetap optimistis target penerimaan 2022 akan tercapai. Keyakinan itu didorong kebijakan yang tergolong moderat dibandingkan dengan kebijakan pada periode sebelum pandemi.

"Sehingga risiko fiskal di tahun 2022 dapat dimitigasi dengan baik," bunyi dokumen tersebut, dikutip Kamis (19/8/2021).

Dokumen tersebut memerinci sedikitnya ada 6 faktor yang memengaruhi pencapaian target pajak pada 2022. Pertama, ketidakpastian atau uncertainty kegiatan ekonomi. Iklim perekonomian disebut bergantung pada tren perbaikan berbagai indikator perekonomian yang belum sepenuhnya berlanjut seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Purchasing Managers’ Index (PMI), dan harga komoditas. Dinamika ekonomi pun masih dipengaruhi peningkatan kasus Covid-19 akibat varian delta.

Kedua, penurunan basis pajak akibat pandemi Covid-19. Kendati pemerintah secara proaktif memberikan stimulus fiskal dari sisi perpajakan kepada dunia usaha, peningkatan kasus Covid-19 dan kebijakan PPKM darurat diyakini mempunyai peran dalam perlambatan aktivitas ekonomi. Hal ini pula lah yang menjadi basis perhitungan penerimaan perpajakan tahun 2022.

Ketiga, jenis pajak tertentu sulit untuk rebound. Kondisi ini disebabkan adanya tekanan pada basis pajak seiring pemulihan ekonomi 2022. Situasi saat ini pun diperkirakan belum dapat mendorong pertumbuhan pajak kembali pada level sebelum pandemi.

Sebagai informasi, beberapa jenis pajak khususnya pajak terkait korporasi seperti pajak penghasilan (PPh) Pasal 22/23 masih memiliki risiko fiskal yang tinggi. Namun, ada peluang konsumsi masyarakat membaik sehingga akan berdampak pada pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN).

Keempat, dominasi sektor komoditas dan perdagangan dalam penerimaan negara sehingga rentan terhadap guncangan global. Pasalnya, sektor komoditas mengalami stagnasi harga bahkan cenderung mengalami penurunan sejak 2016.

Seiring dengan perbaikan ekonomi, khususnya di Amerika Serikat, China, Eropa, dan Jepang, harga komoditas mulai berangsur pulih sehingga pemerintah tetap harus mencermati tren tersebut.

Kelima, tingginya shadow economy, terutama mengenai ekonomi digital. Beberapa bentuk ekonomi digital seperti perdagangan elektronik tumbuh pesat selama pandemi Covid-19. Namun, dari sudut pandang perpajakan, sektor tersebut masih sulit dipajaki.

Keenam, situasi dan kebijakan pajak global yang masih menjadi fokus perhatian pada 2022. Konsensus negara G-7 terhadap minimum tarif pajak korporasi teknologi besar akan memengaruhi peta kompetisi penurunan tarif perpajakan global dan iklim investasi antarnegara.

Kebijakan minimum tarif pajak korporasi global telah disepakati. Namun, tata cara pelaksanaan, kesiapan infrastruktur sistem, dan posisi Indonesia akan tetap menjadi perhatian pada 2022.

Pemerintah menyatakan telah telah mempertimbangkan beberapa sumber risiko dari sisi ekonomi makro yang berasal dari sektor komoditas, aktivitas ekonomi domestik, perdagangan internasional, dan digitalisasi ekonomi tersebut. Mitigasi tersebut tidak hanya berfokus dalam upaya menjaga daya tahan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga berorientasi kepada pemulihan dalam jangka menengah dan panjang.

"Hal ini dapat dilihat melalui berbagai instrumen kemudahan berusaha, kepastian hukum, perluasan basis pajak, serta upaya meningkatkan kepatuhan secara sukarela," bunyi dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022.

Tidak hanya secara makro, mitigasi risiko melalui kebijakan pada level mikro juga dilakukan pemerintah. Mitigasi yang dilakukan misalnya dengan memberikan insentif fiskal yang lebih tepat dan terukur; menyempurnakan peraturan perpajakan khususnya yang terkait dengan UU Cipta Kerja; dan mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui perluasan basis pajak.

Khusus terkait perluasan basis pajak, pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, pengawasan dan penegakan hukum yang berkeadilan, serta pelaksanaan lima pilar reformasi. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.