Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menilai fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini harus ditanggulangi, salah satunya melalui kebijakan fiskal. Salah satu upaya diusulkan pemerintah untuk mengatasi eksternalitas negatif atas emisi gas rumah kaca lewat pemungutan pajak karbon.
Dalam Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), pemerintah mengatakan perubahan iklim telah memicu risiko berbagai bencana alam di Indonesia. Sekitar 80% bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi.
“Ditambah lagi lebih dari 3,9 juta penduduk di 105 kabupaten dan kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan pada tahun 2017,” tulis pemerintah dalam NA RUU KUP, dikutip pada Selasa (13/7/2021).
Merespons persoalan tersebut, pemerintah mengusulkan adanya pajak karbon atas konsumsi bahan bakar fosil. Pajak karbon, lanjut pemerintah, bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, menambah pendapatan negara, mendukung pembangunan rendah karbon, dan meningkatkan efisiensi sistem pungutan atau pajak.
Penerapan pajak karbon diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi konsumsi penggunaan bahan bakar fosil. Sebagai langkah efisiensi, pajak atau pungutan dikenakan pada level produsen dengan tarif berdasarkan pada tingkat kualitas bahan bakar fosil.
Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dari kondisi business as usual (BAU) pada 2030. Target penurunan emisi gas rumah kaca tersebut ditingkatkan menjadi 41% jika Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan dari komunitas global.
“Setiap orang pribadi atau badan usaha yang membeli dan/atau mengimpor barang yang mengandung karbon atau menghasilkan emisi karbon dengan jumlah tertentu dikenai pajak karbon,” imbuh pemerintah.
Adapun objek yang dikenai pajak karbon yaitu emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, misalnya emisi karbon hasil pertambangan batubara. Jumlah pajak karbon yang terutang dihitung dengan mengalikan satuan emisi karbon dihasilkan berupa karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan tarif atas pajak karbon.
Di bidang fiskal, pemerintah sebenarnya telah menerapkan beberapa kebijakan untuk mengendalikan emisi karbon. Adapun kebijakan yang dimaksud ialah pemberian insentif perpajakan berupa tax allowance dan tax holiday untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan, pembebasan PPN impor mesin yang digunakan untuk menghasilkan energi terbarukan, dan lainnya.
Selain kebijakan fiskal, saat ini Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk turut serta membantu mengurangi dampak dari perubahan iklim melalui upaya menurunkan emisi CO2 dan telah meratifikasi Paris Agreement dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016. (kaw)