BERITA PAJAK HARI INI

Cukai Minuman Manis Tertunda Lagi, Jadinya Bea Keluar Emas-Batu Bara

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 Desember 2025 | 07.30 WIB
Cukai Minuman Manis Tertunda Lagi, Jadinya Bea Keluar Emas-Batu Bara
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah kembali menunda penerapan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2026. Sebagai gantinya, tambahan penerimaan negara akan diperoleh dari pungutan bea keluar atas emas dan batu bara. Topik ini menjadi salah satu sorotan media nasional pada hari ini, Selasa (9/12/2025).

Penundaan pemungutan cukai MBDK membuat pemerintah kehilangan potensi penerimaan cukai hingga Rp7 triliun yang sudah termuat dalam APBN 2026. Sebagai gantinya, penerimaan negara senilai Rp23 triliun diproyeksikan bisa diperoleh dari pemungutan bea keluar komoditas. Perinciannya, Rp3 triliun berasal dari emas dan Rp20 triliun dari batu bara.

Tambahan penerimaan ini akan dipakai pemerintah untuk memperbaiki saldo anggaran dan menutup defisit APBN. "Langkah pertama adalah menutup defisit," ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa seperti dilansir Koran Kontan dan DDTCNews.

Bea keluar emas akan dikenakan secara progresif berdasarkan Harga Mineral Acuan (HMA) dengan tarif berkisar 7,5% hingga 15%, tergantung jenis produk emas. Adapun batu bara akan dikenai tarif 1% hingga 5% per value.

Menurut Purbaya, pemungutan bea keluar atas ekspor emas tahun depan bertujuan menjamin pasokan emas untuk penciptaan nilai tambah, serta pengembangan ekosistem bank bulion.

Menkeu menuturkan pasokan emas perlu dijaga ketersediaannya, mengingat cadangan tambang emas di Indonesia terus menyusut. Adapun cadangan bijih emas dari sebanyak 3.510 ton pada 2022, berkurang menjadi 3.491 ton pada 2023.

"Sejalan dengan prioritas pengembangan ekosistem bullion bank Indonesia dan kebutuhan pasokan emas di domestik yang meningkat, diperlukan instrumen kebijakan bea keluar untuk mendukung ketersediaan suplai emas di Indonesia," katanya.

Selain informasi soal pemungutan bea keluar atas emas dan batu bara, ada bahasan lain yang juga menjadi sorotan media nasional pada hari ini. Di antaranya, pengawasan pajak terhadap importir balpres, nasib cukai MBDK, hingga tak kunjung berlakunya pajak karbon.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Restitusi PPN Batu Bara Naik Drastis

Rencana pemerintah menerapkan bea keluar atas batu bara salah satunya dilatarbelakangi oleh tingginya restitusi PPN yang diterima oleh para eksportir batu bara.

Menkeu Purbaya mengatakan restitusi bagi eksportir batu bara meningkat drastis akibat revisi UU PPN melalui UU Cipta Kerja yang menggeser status batu bara dari barang yang dikecualikan dari PPN menjadi barang kena pajak BKP.

"Akibatnya industri batu bara bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah, itu sekitar Rp25 triliun per tahun. Itu kalau dihitung dengan cost-nya digelembungkan segala macam, net income kita dari batu bara bukannya positif, malah negatif," katanya. (DDTCNews)

Pengawasan untuk Importir Balpres

Menkeu Purbaya berencana untuk memeriksa kepatuhan pajak para pihak yang mendukung praktik importasi pakaian bekas dalam bentuk balpres secara ilegal.

Purbaya mengeklaim pihak-pihak yang mendukung impor pakaian bekas ternyata tidak mematuhi kewajiban pembayaran pajak. Hal ini terbukti dengan SPT mereka yang ternyata selalu berstatus nihil tanpa ada pembayaran pajak sama sekali.

"Kami dapat namanya yang ribut-ribut di medsos tentang balpres. Kami investigasi pajaknya seperti apa. Ternyata banyak dari mereka enggak bayar pajak. Saya datangi orangnya ke sana untuk suruh bayar pajak," katanya. (DDTCNews)

MBDK Dikenai Cukai 2026, Asal Ekonomi Tumbuh 6%

Menkeu Purbaya menyatakan bahwa pemerintah tetap membuka ruang untuk menerapkan pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai semester II/2026.

Menurutnya, pungutan cukai MBDK bisa saja diterapkan paruh kedua tahun depan jika perekonomian Indonesia berhasil tumbuh di atas 6%. Namun, jika target itu belum tercapai maka menteri keuangan tidak akan menerapkan pungutan baru.

"Kalau doa Anda manjur mendoakan saya supaya berhasil, kita akan pungut [cukai MBDK] di second half, artinya ekonomi tumbuh di atas 6%," katanya. (DDTCNews)

Pajak Karbon Tak Kunjung Jalan, Kenapa?

Pemerintah belum juga mau menerapkan pajak karbon. Penerapan pajak karbon sempat ditunda dari rencananya 2021 lalu yang diamanatkan dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mulai 1 April 2022. Alasan utamanya, pemerintah masih menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.

Selain itu, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menjelaskan bahwa saat ini pemerintah masih fokus pada Nilai Ekonomi Karbon (NEK), atau harga yang dikenakan pada setiap emisi gas rumah kaca. Hal ini agar voluntary carbon market atau pembelian karbon yang bukan sebuah kewajiban ini bisa bergeliat lebih dulu.

"Supaya voluntary carbon market bisa jalan. Kita udah bisa bicara carbon tax, emission trading scheme (ETS), complience (kepatuhan), memang instrumen lain," kata Mari Elka, usai rapat koordinasi Dewan Pengarah Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). (CNBC Indonesia) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.