WINSTON CHURCHILL:

'Seperti Berdiri di Ember dan Mengangkat Diri dengan Gagangnya'

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Mei 2019 | 16.57 WIB
'Seperti Berdiri di Ember dan Mengangkat Diri dengan Gagangnya'

Winston Churchill

AWALNYA dia hanyalah seorang serdadu. Namun, ia punya bakat yang menggebu-gebu tentang sejarah. Lalu ia nyambi sebagai wartawan, menjadi koresponden untuk harian Daily Graphic (London), The Pioneer (Allahabad) dan The Daily Telegraph (London). Upah menulisnya £5 per artikel.

Beritanya melulu kampanye militer Inggris di Kuba, Pakistan, dan Afghanistan. Selang beberapa tahun, ia ikut Perang Mahdi di Sudan, lantas merilis The Story of Malakand Field Force: An Episode of Frontier War (1898) dan The River War: An Historical Account of the Reconquest of the Soudan (1899).

Tak puas dengan peran ganda itu, pada 1899 ia meninggalkan dinas militer. Ia masuk ke politik, dan menjadi kandidat anggota parlemen dari Partai Konservatif di Oldham, Lancashire. Sayang, ia kalah tipis. Tak butuh waktu lama untuk menyesali pilihannya, ia kembali menjadi wartawan.

Saat itu, meski masih 25 tahun, ia sudah cukup populer. Ia sering diundang dan berbicara tentang bukunya di berbagai tempat. Ia lalu bekerja untuk The Morning Post (London)Upahnya £250.000 dengan masa kerja hanya 4 bulan, untuk meliput Perang Boer kedua di Afrika Selatan.

Di negara itulah, pada 15 November 1899, ia ditangkap. Kereta lapis baja yang dinaikinya bersama pasukan Inggris disergap. Ia dipenjara di kamp tawanan perang di Pretoria. Pada 12 Desember 1899, ia berhasil melarikan diri dari penjara, hingga akhirnya diselamatkan seorang pekerja tambang.

Pulang ke Inggris sebagai pahlawan perang, ia menerbitkan London to Ladysmith via Pretoria (1900) dan Ian Hamilton's March (1900). Pada saat hampir bersamaan, ia juga merilis romannya, Savrola: A Tale of the Revolution in Laurania (1900). Lalu ia kembali ikut pemilu, dan menang.

“Tidak ada yang lain selain popularitas personal yang muncul dari akhir Perang Afrika Selatan, yang membawa saya masuk ke parlemen” kata Winston Leonard Spencer Churchill (1874-1965), sehari setelah ia diumumkan terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat (House of Commons).

Churchill memang politisi dengan penuh perkecualian. Bukan sekadar suka melukis atau bermain polo, ia juga punya kemampuan menulis dan berbicara yang sama baiknya. Tulisan dan analisisnya dalam, orasinya tangkas dan menyihir. Dan dengan cara itu, ia memaksa khalayak untuk berpikir.

Sebagai penganut paham pasar bebas, setelah pindah haluan dari sebelumnya konservatif, sudah tentu ia bukan penggemar pajak. “Pajak adalah kejahatan—kejahatan yang perlu, tetapi masih jahat, dan semakin sedikit yang kita miliki, semakin baik,” katanya di House of Commons, 12 Februari 1906.

Saat Pemerintah Inggris mau menghambat impor dengan menaikkan tarif pajak guna mendorong pertumbuhan industri domestik, ia mengecamnya dengan sinis. Ia menyebut proteksionisme seperti itu keliru. Jika impor dihalangi, belum tentu Inggris bisa memproduksi barang impor tersebut.

“Mereka yang percaya itu, tentu bisa mempercayai apapun. Tapi kami pedagang bebas mengatakan itu keliru. Berpikir bahwa Anda dapat memperkaya seseorang dengan menarik pajak darinya, seperti berpikir bahwa ia dapat berdiri di dalam ember dan mengangkat diri dengan gagangnya.”

Namun, ia bukannya tanpa cela. Ada banyak sorotan di sepanjang karirnya. Kegagalannya sebagai Kepala Staf Angkatan Laut dalam Ekspedisi Galipoli, putusannya mengirim tentara dalam Kerusuhan Tonypandy dan Pengepungan Jalan Sidney saat menjabat Menteri Dalam Negeri masih diingat orang.

Begitu pula posisinya sebagai Menteri Keuangan yang mengembalikan lagi nilai tukar poundsterling ke standar emas, lalu terbukti gagal memperbaiki ekonomi. Saat terpilih sebagai Perdana Menteri, ia juga gagal mengelola ekonomi, hingga Inggris bangkrut dan kehilangan banyak wilayah jajahannya.

Beberapa hal itulah penyebab kenapa Partai Konservatif yang dipimpinnya—setelah pindah haluan lagi dari Partai Liberal—keok di Pemilu 1945, meski semua orang mengakui Inggris memenangi Perang Dunia II. Memang, kursi nomor satu di pemerintahan itu kembali direbutnya pada Pemilu 1951.

Sebetapapun kontroversialnya, Churchill, politisi angkuh, sinis, sedikit kasar yang menerima nobel sastra 1953 itu, adalah orang Inggris terbesar sepanjang sejarah versi survei BBC pada 2002. Ia meraih 447.423 suara, berselisih sangat jauh dari pemenang keduanya, Isambard K. Brunel, yang hanya 56.000 suara. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.