Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana memberlakukan dan menetapkan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21. Rencana tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (4/1/2023).
Pemberlakuan dan penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 itu akan masuk dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait dengan tarif pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Rencana itu sudah masuk dalam Keppres 25/2022.
“Kami mengusulkan semacam simplifikasi atau kemudahan dalam pemotongan PPh Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif. Ini yang sedang kita susun supaya paling tidak mengurangi kesalahan dalam pemotongan pemungutan pajak, khususnya PPh Pasal 21,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Nantinya, pemerintah menetapkan tarif efektif tertentu atas penghasilan yang diterima wajib pajak. Tarif efektif itu diberlakukan terkait dengan pemotongan yang dilakukan oleh pembayar gaji atau pembayar penghasilan terutang PPh Pasal 21.
Selain mengenai tarif efektif PPh Pasal 21, ada pula ulasan mengenai kinerja penerimaan pajak pada tahun lalu. Kemudian, ada pula ulasan terkait dengan perpanjangan pemberlakuan sertifikat elektronik (sertel), electronic filing identification number (EFIN), dan kode verifikasi.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 sudah memperhitungkan besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) pada masing-masing wajib pajak. Dengan demikian, pemotongan mendekati jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
“Prinsipnya dan harapan besarnya adalah jumlah pajak yang dipotong dengan menggunakan tarif efektif ini mendekati jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Yang lebih krusial lagi mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada waktu pemotongan PPh,” imbuh Suryo. (DDTCNews)
Pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak pada 2022 mencapai Rp1.716,8 triliun atau 115,6% dari target yang tertuang dalam Perpres 98/2022 senilai Rp1.485 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 34,3%. Menurutnya, penerimaan pajak itu telah menunjukkan kinerja positif sejalan dengan pemulihan ekonomi.
Sri Mulyani mengatakan kinerja penerimaan pajak terus menggambarkan tren positif. Menurutnya, catatan positif tersebut menunjukkan optimisme pada pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 walaupun juga disebabkan basis penerimaan yang rendah pada 2021.
Pertumbuhan penerimaan pajak itu terjadi sejalan dengan tren kenaikan harga komoditas global yang masih berlanjut. Di sisi lain, ada faktor implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang salah satunya memuat pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS). (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Kementerian Keuangan mencatat kinerja APBN 2022 mengalami defisit senilai Rp464,3 triliun. Angka tersebut setara 2,38% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit terjadi karena realisasi pendapatan negara tercatat Rp2.626,4 triliun dan belanja negara Rp2.090,8 triliun. Menurutnya, defisit tersebut juga menandakan pengelolaan APBN telah optimal sebagai shock absorber.
"[Realisasi defisit] ini kalau dibandingkan dengan APBN awal atau di Perpres 98/2022, angka Rp464 triliun ini jauh lebih rendah, hampir separuhnya sendiri," katanya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Penggunaan sertel berdasarkan pada PMK 147/2017, EFIN berdasarkan pada PER-41/PJ/2015 s.t.d.t.d PER-06/PJ/2019, serta kode verifikasi berdasarkan PER-02/PJ/2019 atas nama wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan masih tetap berlaku sampai dengan tersedianya sertel dan kode otorisasi DJP di dalam sistem informasi DJP.
Kemudian, penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik yang diproses secara otomatis melalui laman DJP dengan menggunakan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi masih dapat dilakukan sampai dengan tersedianya tanda tangan elektronik tersertifikasi di dalam sistem informasi DJP. (DDTCNews)
DJP berencana untuk menaikkan target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan wajib pajak pada tahun ini. Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan realisasi rasio kepatuhan formal pada 2022 telah mencapai 83,2%. Capaian tersebut di atas target sebesar 80%.
"Untuk 2023, kami terus melakukan kalibrasi lagi. Apakah kira-kira targetnya akan disesuaikan atau tidak. Itu kami hitung dengan teman-teman di DJP. Harusnya mengalami peningkatan," katanya.
Suryo mengatakan sejauh ini sudah ada 2.587 wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan 2022. DJP pun telah mengingatkan wajib pajak agar segera melaporkan SPT Tahunan 2022 lebih awal. "Kami coba retrieve, dan betul sudah ada yang menyampaikan," katanya. (DDTCNews) (kaw)