RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan barang yang dihasilkan dari bidang usaha perikanan.
Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan pembelian ikan langsung dari nelayan yang kemudian dijual dan dibawa ke kapal sebagai umpan.
Otoritas pajak menilai penjualan ikan tersebut terutang PPN. Sebab, wajib pajak selaku badan usaha tidak dapat digolongkan sebagai petani yang atas penyerahan barang kena pajak berupa ikan dibebaskan dari pengenaan PPN.
Hal itu sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 s.t.d.d PP No. 46 Tahun 2003 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PP 46/2003).
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perikanan merupakan barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis. Dengan demikian, atas penyerahan barang tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN. Selain itu, wajib pajak juga belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) sehingga tidak ada sarana untuk melakukan pemungutan PPN.Â
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi positif DPP PPN atas penjualan ikan yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.
Berkaitan dengan koreksi di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa wajib pajak belum pernah dikukuhkan sebagai PKP. Oleh karena itu, wajib pajak tidak dapat diwajibkan untuk memungut PPN.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga meyakini otoritas pajak tidak melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan 13 Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2000 s.t.d.d UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Menurutnya, penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) PPN sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan pada pada uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. 22450/PP/M.VIII/16/2010 pada 3 Maret 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Juli 2010.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPN masa pajak Januari sampai Desember 2006 atas penyerahan barang yang dihasilkan dari bidang usaha perikanan senilai Rp2.589.397.500.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan keputusan majelis yang tidak mempertahankan koreksi positif DPP PPN senilai Rp2.589.397.500.
Menurut Pemohon PK, putusan Pengadilan Pajak tidak memenuhi landasan hukum formal dan material yang dijabarkan ke dalam 3 pokok sengketa berikut.
Pertama, keterlambatan pengiriman salinan putusan tidak memenuhi landasan hukum formal. Menurut Pemohon PK, putusan Pengadilan Pajak telah cacat hukum karena salinan putusan Pengadilan Pajak dikirim melewati jangka waktu yang telah ditentukan.
Kedua, kuasa hukum Termohon PK tidak memiliki surat kuasa khusus yang melanggar hukum formal. Pemohon PK menilai surat kuasa yang digunakan untuk mewakili Termohon PK selama proses persidangan banding tidak menggunakan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, putusan Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan koreksi positif DPP PPN senilai Rp2.589.397.500 tidak memenuhi landasan hukum material. Perlu diketahui, Termohon PK merupakan badan usaha yang bergerak di bidang perikanan dan bukan merupakan petani atau kelompok tani.
Dalam hal ini, Termohon PK melakukan penjualan ikan kepada pihak lain setelah membelinya dari nelayan. Menurut Pemohon PK, atas penjualan ikan kepada pihak lain tersebut seharusnya dikenakan PPN. Pengenaan PPN atas penyerahan ikan tersebut juga dilakukan meskipun Pemohon PK belum dikukuhkan sebagai PKP.
Pengenaan PPN tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan Pasal 4 huruf a UU No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).
Ketentuan yang dimaksud mengatur bahwa pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dilakukan pengukuhan, atas penyerahan yang dilakukannya tetap dikenakan PPN.
Selain itu, disampaikan juga bahwa Pemohon PK telah melakukan pemeriksaan untuk pengukuhan PKP Termohon PK pada 27 Juni 2006. Meskipun demikian, sampai pada saat persidangan dimulai laporan pengukuhan PKP belum diterima oleh Termohon PK.
Pada akhirnya, Pemohon PK menyimpulkan bahwa penyerahan BKP berupa ikan oleh Termohon PK tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, koreksi positif senilai Rp2.589.397.500 yang dilakukannya sudah tepat.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Dalam menjalankan aktivitas usahanya, Termohon PK langsung melakukan penjualan ikan setelah membelinya dari nelayan.
Menurut Termohon PK, penjualan ikan yang dilakukannya merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis. Menurut Termohon PK, atas penyerahan ikan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN.
Di samping itu, sejak saat pemeriksaan hingga proses persidangan banding dilakukan, Termohon PK belum dikukuhkan sebagai PKP. Dengan demikian, penjualan ikan yang dilakukan Termohon PK tidak terutang PPN.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 22450/PP/M.VIII/16/2010 yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat dan benar. Terhadap perkara ini, terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK terkait dengan keterlambatan pengiriman salinan putusan Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan. Sebab, pengiriman salinan tersebut berkenaan dengan jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian semata. Hal itu tidak dapat membatalkan putusan.
Kedua, alasan permohonan PK terkait tidak digunakannya surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tidak dapat dibenarkan. Adapun dalam surat kuasa telah disebutkan mengenai surat keputusan yang diajukan banding. Oleh karenanya, surat kuasa tersebut dapat dinyatakan sifatnya adalah khusus sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
Ketiga, alasan permohonan PK terkait segi material sengketa DPP PPN tidak dapat dibenarkan karena putusan Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Farrel Arkan)