KAMUS PAJAK

Apa Itu Data Konkret dalam Pemeriksaan Pajak?

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 29 September 2025 | 13.00 WIB
Apa Itu Data Konkret dalam Pemeriksaan Pajak?

SISTEM self-assessment memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya melalui surat pemberitahuan (SPT).

Dalam rangka pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut dilakukan diantaranya untuk menguji kepatuhan wajib pajak berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki DJP.

Data dan/atau informasi yang diterima atau dimiliki oleh DJP termasuk di antaranya berupa data konkret. Data konkret sebagai basis data untuk pemeriksaan pun telah ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l Peraturan Menteri Keuangan No.15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025).

Selain itu, DJP juga telah memerinci ketentuan tindak lanjut atas data konkret melalui Perdirjen Pajak No. PER-18/PJ/2025. Sebelumnya, DJP juga sempat merilis Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-9/PJ/2023 tentang Penyelesaian Tindak Lanjut Atas Data Konkret. Lantas, apa itu data konkret?

Data konkret adalah data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP dan memerlukan pengujian sederhana untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak. Data konkret tersebut dapat berupa 3 bentuk.

Pertama, faktur pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik DJP, tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh wajib pajak pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kedua, bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan pada SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh).

Ketiga, bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak. Secara lebih terperinci, bukti transaksi atau data perpajakan tersebut dapat berupa:

  1. kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT Masa PPN sebelumnya;
  2. penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh wajib pajak yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang pajak;
  3. PPN disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar;
  4. pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan;
  5. pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan;
  6. penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki DJP dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN);
  7. data dan/atau keterangan yang bersumber dari ketetapan dan/atau keputusan di bidang perpajakan dan/atau putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah. Adapun data dan/atau keterangan itu dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT; dan/atau
  8. data dan/atau keterangan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak serta telah:
    - diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK); dan
    - dibuat berita acara permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat persetujuan wajib pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa. Namun, pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh wajib pajak.

Sesuai dengan ketentuan, data konkret yang menyebabkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar ditindaklanjuti dengan: (i) pengawasan; dan/atau (ii) pemeriksaan atas data konkret. Sehubungan dengan tindak lanjut atas data konkret, DJP merilis SE-9/PJ/2023 dan PER-18/PJ/2025.

Berdasarkan SE-9/PJ/2023, pengawasan atas data konkret dilakukan melalui penelitian kepatuhan material dan/atau permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (P2DK). Sementara itu, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PER-18/PJ/2025, pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan pemeriksaan spesifik.

Pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam SPT dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) PMK 15/2025, jangka waktu pemeriksaan spesifik terdiri atas: (i) pengujian maksimal selama 1 bulan; dan (ii) pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) serta pelaporan maksimal selama 30 hari kerja.

Namun, apabila pemeriksaan spesifik untuk menguji kepatuhan berdasarkan pada data konkret maka jangka waktu pemeriksaannya lebih singkat, yaitu hanya maksimal 20 hari. Hal ini berdasarkan pada Pasal 6 ayat (4) PMK 15/2025, yang menyatakan pemeriksaan spesifik untuk menguji kepatuhan berdasarkan data konkret dilakukan selama:

  1. jangka waktu pengujian paling lama 10 hari kerja; dan
  2. jangka waktu PAHP dan pelaporan paling lama 10 hari kerja.

Hal lain yang perlu disoroti adalah DJP tidak dapat menindaklanjuti data konkret apabila melampaui jangka waktu 5 tahun (sudah daluwarsa penetapan), kecuali atas wajib pajak yang diduga melakukan tindak pidana perpajakan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam SE-9/PJ/2023.

“Data dan/atau informasi tersebut [data konkret] tidak dapat ditindaklanjuti apabila dalam 5 tahun tidak dimanfaatkan oleh DJP sebagai dasar pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, kecuali atas WAJIB PAJAK yang diduga melakukan tindak pidana perpajakan,” bunyi SE-9/PJ/2023. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.