PERSPEKTIF COOPERATIVE COMPLIANCE:

Dari Konfrontasi ke Kolaborasi dan dari Litigasi ke Mitigasi

Redaksi DDTCNews
Selasa, 14 Oktober 2025 | 07.33 WIB
Dari Konfrontasi ke Kolaborasi dan dari Litigasi ke Mitigasi
Founder DDTC

PADA akhir pertengahan abad ke-20, pendekatan otoritas pajak di berbagai negara terhadap permasalahan kepatuhan pajak, lebih didasarkan pada pendekatan konfrontasi (Jeffrey Owens, 2013). Dalam pendekatan ini, wajib pajak dijadikan target dan diperlakukan layaknya pihak ‘yang curang’ oleh otoritas pajak melalui pemeriksaan yang bersifat konfrontasi.

Kerja otoritas pajak fokus terhadap upaya untuk mendeteksi dan memberikan efek jera (deterrent effect). Saat itu, pemeriksaan pajak menjadi strategi utama. Keberhasilan petugas pajak diukur dari seberapa banyak penerimaan pajak yang dihasilkan dari proses pemeriksaan, jumlah surat ketetapan pajak yang diterbitkan, dan jumlah sengketa pajak di pengadilan pajak yang dimenangkan.

Pertanyaannya, di tengah perubahan lanskap pajak yang sangat dinamis saat ini, apakah pendekatan pemeriksaan yang bersifat konfrontasi tersebut masih relevan?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita dapat melihat saran yang disampaikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Usulannya, otoritas pajak seharusnya memberlkan perlakuan kepada wajib pajak atas dasar pola perilaku kepatuhan wajib pajak.

OECD telah mengklasifikasikan perilaku kepatuhan wajib pajak ke dalam empat kelompok, Kemudian, bagaimana seharusnya perlakuan pajak terhadap empat kelompok tersebut?

Adapun kelompok pola perilaku wajib pajak dan bentuk strategi perlakuan pajaknya dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Dari piramida di atas, tampak jelas bahwa otoritas pajak dituntut dapat membuat peta pola perilaku wajib pajak dan sekaligus membuat strategi perlakuan pajak yang tepat. Adanya ketidaksesuaian antara perlakuan otoritas pajak dan pola perilaku wajib pajak akan menimbulkan ketidakadilan.

Menarik apa yang dikatakan oleh Roman Seer (2013), apabila wajib pajak telah masuk dalam kelompok wajib pajak patuh, tetapi diberi perlakuan seperti wajib pajak yang tidak patuh maka wajib pajak tersebut tentunya akan menjadi frustasi. Sebaliknya, jangan sampai juga wajib pajak yang memutuskan tidak patuh diberi perlakuan seperti wajib pajak patuh.

Dari bentuk piramida di atas, tugas otoritas pajak dan profesi konsultan pajak adalah membentuk dan menjaga piramida tersebut dengan dua tujuan agar (i) semakin membesar di bagian bawah dan (ii) semakin mengerucut ke atas. Lantas, bagaimana pendekatan yang harus dilakukan untuk mewujudkan dua tujuan di atas?

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak maka hubungan antara otoritas pajak, wajib pajak, dan konsultan pajak perlu dibangun berdasarkan kerangka baru model kepatuhan yang berbasis enhanced relationship yang muncul di tahun 2005. Dalam perjalanannya, sejak 2013 berganti nama menjadi cooperative compliance.

Secara definisi, cooperative compliance diartikan sebagai hubungan yang lebih mengutamakan kolaborasi dibandingkan konfrontasi dan berlandaskan saling percaya dibandingkan dengan kepatuhan yang dipaksakan, serta didasarkan saling kerjasama (Eelco van der Enden dan Katarzyna Bronzewska, 2014).

Dengan demikian, era baru hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak harus dibangun atas dasar transparansi wajib pajak yang dipertukarkan dengan kepastian yang diberikan oleh otoritas pajak. Sedangkan era baru hubungan antara otoritas pajak dan konsultan pajak ditempuh dengan membangun kemitraan yang setara sebagaimana dilakukan oleh Australia dan Selandia Baru seperti yang diungkapkan oleh Justin Dabner dan Mark Burton (2009).

Pertanyaan lebih lanjut, sarana apa yang dapat digunakan untuk mengetahui wajib pajak dapat dikelompokkan sebagai wajib pajak patuh atau tidak, serta dapat mengikuti pendekatan cooperative compliance?

Di banyak negara yang telah menerapkan pendekatan cooperative compliance, seperti Malaysia, Singapura, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat, persyaratannya adalah wajib pajak harus mempunyai sistem pengendalian internal pajak yang disebut dengan tax control framework (TCF). Serta, untuk sementara waktu hanya diberikan kepada wajib pajak yang tergolong besar (large taxpayer).

Secara definisi, TCF diartikan sebagai bagian dari sistem pegendalian internal dari wajib pajak untuk memastikan kebenaran kewajiban pajak dan keakuratan pengungkapan transaksi yang mempunyai implikasi pajak. Selain itu, untuk memastikan isu-isu pajak didiskusikan di level board of director (BOD). Selanjutnya, harus ada pernyataan strategi dan kebijakan pajak yang hendak dicapai di level perusahaan.

Dalam praktiknya, TCF inilah yang harus diberikan secara transparan sebelum memasukkan SPT kepada otoritas pajak untuk dipertukarkan dengan kepastian dari otoritas pajak. Sebelum TCF diberikan kepada otoritas pajak, TCF direviu terlebih dulu oleh konsultan pajak yang mempunyai keahlian atas TCF.

Adapun bentuk kepastian yang dapat diberikan oleh otoritas pajak kepada wajib pajak, dengan melihat berbagai negara yang mengadopsi TCF, sangat bervariasi. Misalnya, (i) memberikan pelayanan khusus layaknya seperti nasabah prioritas dalam sistem perbankan, (ii) perlakuan sebagai wajib pajak berisiko rendah, (iii) tidak dilakukan pemeriksaan post-factum, dan/atau (iv) penghapusan sanksi.

Dari paparan di atas, paradigma yang ingin dibangun dengan pendekatan cooperative compliance adalah memperlakukan wajib pajak patuh dengan perlakuan spesial, yaitu melalui pendekatan kolaborasi menggantikan pendekatan konfrontasi. Serta, pendekatan mitigasi menggantikan pendekatan litigasi.

Semoga pendekatan cooperative compliance melalui TCF bisa terwujud dalam sistem pajak Indonesia sebagai bentuk penghargaan spesial kepada wajib pajak yang dikelompokkan sebagai wajib pajak patuh.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Dzikri Aditya Ihatra
baru saja
Tulisan yang amat sangat insightful dari Bapak Darussalam, memberikan refleksi yang mendalam tentang pentingnya pergeseran paradigma dari pendekatan konfrontatif menuju kolaboratif dalam sistem perpajakan. Gagasan ini menegaskan bahwa kepatuhan pajak tidak dapat tumbuh dari tekanan, melainkan dari kepercayaan dan kemitraan yang saling menguntungkan. Melalui penerapan Tax Control Framework dan penguatan prinsip cooperative compliance, hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak dapat dibangun di atas transparansi dan saling memahami, sehingga tercipta sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.
user-comment-photo-profile
Muhammad Naufal Hardiza
baru saja
Tulisan perspektif dan pemikiran Founder DDTC Bapak Darussalam selaku konsultan pajak, officium nobile yang menjembatani otoritas pajak dengan wajib pajak, hendaknya menjadi pertimbangan bagi otoritas pajak untuk memperlakukan wajib pajak secara adil, setara, dihormati, dan dihargai dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Hal ini selaras dengan piagam wajib pajak. Adapun pemetaan yang diusulkan oleh OECD, dapat digunakan sebagai tahap awal bagi otoritas pajak untuk mengambil langkah yang tepat dalam membangun kepatuhan wajib pajak karena tidak semua wajib pajak memiliki intensi untuk sepenuhnya patuh ataupun tidak patuh. Alangkah baiknya agar international best practice yang ditempuh negara-negara yang sudah dijabarkan pada artikel ini menjadi acuan untuk merencanakan cooperative compliance demi membangun kepatuhan pajak yang kolaboratif dan mitigatif.
user-comment-photo-profile
Adhwaa Inggarlanti Hadi
baru saja
Transformasi dalam administrasi pajak menuntut pendekatan yang lebih bersahabat dan strategis bukan lagi soal saling berhadapan di ruang sengketa melainkan membangun dialog yang saling percaya kepatuhan yang berkelanjutan lahir dari transparansi dan kemitraan bukan tekanan sepihak Tax Control Framework dan cooperative compliance seharusnya menjadi alat nyata untuk memperkuat hubungan antara otoritas dan wajib pajak ketika wajib pajak menunjukkan itikad baik dan keterbukaan respons yang adil dan fleksibel dari otoritas bukan hanya layak tapi perlu demi sistem yang lebih berkeadilan dan mendorong kepatuhan sukarela.
user-comment-photo-profile
Ihsanul Alvin Sofyan
baru saja
Pandangan dan tulisan yang sangat mendalam dari Bapak Darussalam. Gagasan untuk beralih dari pendekatan konfrontatif menuju kolaboratif mencerminkan arah baru dalam hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak yang lebih setara dan berlandaskan kepercayaan serta transparansi. Pendekatan ini sejalan dengan semangat reformasi perpajakan modern, di mana ketaatan dan kepatuhan Wajib Pajak dihargai bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bentuk kontribusi aktif terhadap sistem yang lebih berkeadilan. Melalui penerapan Tax Control Framework (TCF) dan fokus pada mitigasi risiko, paradigma baru ini diharapkan dapat menciptakan efisiensi yang lebih optimal, sekaligus memperkuat kepercayaan antara seluruh pihak dalam ekosistem perpajakan.
user-comment-photo-profile
Vinata
baru saja
Tulisan ini sangat relevan dengan perkembangan sistem perpajakan modern yang menuntut perubahan dari pendekatan konfrontatif menuju hubungan yang lebih kolaboratif antara otoritas pajak dan wajib pajak. Penekanan pada konsep cooperative compliance menunjukkan pentingnya membangun kepercayaan dan transparansi sebagai dasar kepatuhan yang berkelanjutan. Selain itu, pembahasan mengenai Tax Control Framework (TCF) menegaskan bahwa kepatuhan pajak kini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga merupakan bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Secara keseluruhan, tulisan ini memberikan perspektif yang mencerahkan tentang bagaimana reformasi perpajakan dapat diarahkan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, efisien, dan berorientasi pada kolaborasi.
user-comment-photo-profile
Puti Dewi
baru saja
Dari artikel ini dapat dipahami bahwa pendekatan otoritas pajak terhadap wajib pajak telah banyak berubah, dari yang semula bersifat konfrontatif menjadi lebih kolaboratif melalui konsep cooperative compliance. Kepatuhan pajak tidak lagi dibangun atas dasar rasa takut, melainkan melalui kepercayaan dan transparansi antara wajib pajak dan otoritas. Penerapan pendekatan ini di Indonesia berpotensi menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, modern, serta saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
user-comment-photo-profile
George
baru saja
Saya sepakat sepenuhnya, artikel ini menangkap esensi dari reformasi perpajakan yang sesungguhnya: pergeseran mentalitas dari saling curiga menjadi saling percaya. Mekanisme seperti cooperative compliance dan TCF adalah jembatan untuk itu, namun jembatan ini harus kokoh dari dua sisi. Inisiatif transparansi dari Wajib Pajak akan sia-sia tanpa adanya imbalan berupa kepastian hukum dan perlakuan yang adil dari otoritas pajak. Inilah fondasi untuk membangun kepatuhan sukarela yang otentik dan berkelanjutan, menciptakan iklim perpajakan yang lebih sehat bagi pertumbuhan ekonomi.
user-comment-photo-profile
Michael Chang
baru saja
Pandangan dan tulisan yang sangat menarik dan mencerahkan dari Bapak Darussalam. Peralihan pendekatan konfrontatif menjadi kolaborasi oleh otoritas pajak merupakan pendekatan yang menempatkan wajib pajak dalam posisi yang setara dengan otoritas perpajakan, serta didasarkan dari hubungan saling percaya dan transparansi dari para pihak. Selain itu dalam upaya menuju reformasi perpajakan modern, pendekatan ini memberikan penghargaan lebih kepada Wajib Pajak terhadap ketaatan dan kepatuhan pajak, serta efisiensi yang lebih optimal dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya baik melalui sistem TCF yang disampaikan dalam tulisan tersebut, maupun dalam upaya mitigasi dibandingkan pendekatan yang berfokus pada upaya konfrontatif.
user-comment-photo-profile
Widia Nur Syepiani
baru saja
Menurut pandangan saya, perubahan paradigma hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak dari pendekatan konfrontasi berbasis litigasi menuju pendekatan kolaboratif merupakan reformasi progresif dalam membangun sistem perpajakan yang lebih modern, adaptif, dan berkeadilan. Dengan adanya pendekatan kolaboratif maka akan membangun kepercayaan wajib pajak sehingga terbentuk kepatuhan yang tumbuh secara sukarela. Selain itu, adanya piramida Compliance Risk Management meningkatkan efisiensi pemeriksaan pajak di mana adanya diferensiasi perlakuan berdasarkan profil risiko wajib pajak membuat pemeriksaan dan penegakan hukum tidak lagi bersifat menyeluruh melainkan selektif dan strategis. Di sisi lain, wajib pajak memperoleh kepastian hukum serta ruang dialog yang lebih terbuka. Dengan begitu, adanya hubungan kolaboratif ini dapat memperkuat tax morale masyarakat dan meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.
user-comment-photo-profile
Nur Syifa Zahra
baru saja
Sebuah perspektif yang menarik. Perubahan pendekatan dari konfrontasi menuju kolaborasi mencerminkan arah reformasi perpajakan yang lebih matang dan berkeadilan. Cooperative compliance menegaskan bahwa kepatuhan tidak hanya dibangun dari ketakutan akan sanksi, tetapi dari kepercayaan, transparansi, dan kemitraan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Pendekatan ini juga menjadi fondasi penting menuju sistem perpajakan yang lebih modern.
user-comment-photo-profile
Wahyu Intan Maulidiyah
baru saja
Tulisan ini sangat membuka wawasan mengenai pentingnya pergeseran paradigma dalam administrasi perpajakan. Pendekatan dari konfrontasi ke kolaborasi, serta dari litigasi ke mitigasi, jelas menekankan bahwa kepatuhan yang berkelanjutan harus dibangun atas dasar kepercayaan, bukan tekanan semata. Saya sependapat bahwa penggunaan Tax Control Framework (TCF) dan penerapan cooperative compliance bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi mekanisme untuk menyeimbangkan kepentingan wajib pajak dan otoritas pajak. Wajib pajak yang proaktif dan kooperatif seharusnya mendapatkan perlakuan yang lebih mendukung dan adaptif, sehingga tercipta rasa keadilan dan motivasi untuk terus mematuhi aturan secara sukarela.
user-comment-photo-profile
Nadhyra Keisha
baru saja
Sangat setuju dengan pembahasan dalam artikel ini yang menyatakan bahwa otoritas pajak sudah seharusnya menggunakan pendekatan kolaboratif untuk meningkatkan kepatuhan atau yang dikenal dengan cooperative compliance di era perpajakan modern ini. Salah satu bentuknya dapat dilakukan melalui penerapan TCF yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak perusahaan. Dan benar bahwa Transparansi yang diberikan wajib pajak ini juga harus diimbangi dengan pemberian kepastian hukum serta kejelasan posisi dari otoritas pajak, sehingga tercipta hubungan yang benar-benar kolaboratif yang dapat menciptakan keadilan bagi wajib pajak yang patuh serta berpotensi dalam meningkatkan kepatuhan pajak.
user-comment-photo-profile
dinda
baru saja
“Dari Konfrontasi ke Kolaborasi dan dari Litigasi ke Mitigasi” menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Pergeseran dari pendekatan konfrontatif menuju kolaboratif menunjukkan upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada kepatuhan sukarela. Hal ini sejalan dengan praktik internasional yang menempatkan komunikasi dan kepercayaan sebagai dasar pengelolaan kepatuhan pajak yang berkelanjutan.
user-comment-photo-profile
Malvin Ginting
baru saja
Saya setuju bahwa arah perubahan dari konfrontasi ke kolaborasi ini memang sudah saatnya dilakukan. Kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak adalah fondasi utama agar kepatuhan bisa tumbuh secara alami, bukan karena rasa takut atau tekanan. Saya juga sependapat dengan gagasan bahwa perlakuan pemeriksa perlu untuk menyesuaikan posisi wajib pajak sesuai dengan piramida kepatuhan. Wajib pajak yang kooperatif tentu seharusnya mendapat pendekatan yang lebih suportif, bukan justru disamakan dengan yang memilih untuk tidak patuh. Pendekatan yang proporsional seperti ini bisa memperkuat rasa keadilan dan membuat wajib pajak semakin percaya bahwa kolaborasi memang akan lebih menguntungkan dibanding dengan konfrontasi.
user-comment-photo-profile
Ahmad Danang Sagita
baru saja
Bagi saya pribadi, tulisan ini sangat relevan dengan arah reformasi perpajakan modern. Pergeseran dari pendekatan konfrontatif menuju cooperative compliance menandai evolusi fiskal yang lebih sehat dan berkeadilan. Transparansi yang dipertukarkan dengan kepastian, serta kemitraan antara otoritas dan konsultan pajak, menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan dan meningkatkan kepatuhan sukarela. Tax Control Framework (TCF) sebagai prasyarat implementasi juga menunjukkan bahwa kepatuhan tidak cukup bersifat formal, tetapi harus terintegrasi dalam tata kelola perusahaan. Semoga pendekatan ini dapat diterapkan secara bertahap di Indonesia, tidak hanya untuk wajib pajak besar, tetapi juga sebagai inspirasi bagi pembentukan sistem pajak yang kolaboratif, adaptif, dan berorientasi pada mitigasi risiko. Terima kasih DDTC atas perspektif yang mencerahkan dan strategis.
user-comment-photo-profile
MATTHEW JULYAN H HUTAGAOL
baru saja
Menurut saya, artikel ini menyajikan pandangan yang progresif tentang perlunya pergeseran hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak menuju pendekatan yang lebih kolaboratif dan berbasis kepercayaan, terutama melalui penerapan Tax Control Framework (TCF) dan cooperative compliance. Namun, saya melihat pembahasannya masih terasa idealistis karena belum sepenuhnya menyoroti tantangan nyata di Indonesia, seperti potensi penyalahgunaan, keterbatasan sumber daya, serta keseimbangan antara insentif dan sanksi. Meski begitu, menurut saya tulisan ini sangat berharga karena membuka arah baru dalam kepatuhan pajak, dengan catatan bahwa keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan sistem dan efektivitas pengendalian risikonya.