PROPOSAL Pilar 1 yang diusung oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertujuan untuk menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil melalui realokasi pemajakan kepada yurisdiksi pasar.
Skema tersebut merupakan salah satu solusi atas konsep pemajakan yang saat ini masih mengacu pada physical presence, bukan economic presence. OECD pun mengusung nexus baru di mana perusahaan multinasional bisa dikenai pajak meski tidak memiliki physical presence di negara terkait. Lantas, bagaimana basis hukum dan teknis implementasinya?
Berdasarkan proposal Pilar 1, skema terbaik untuk mengimplementasikan Pilar 1 adalah dengan menyusun konvensi multilateral baru (Chapter 10.2.2). Artinya, dibutuhkan suatu instrumen hukum internasional publik baru, yaitu konvensi multilateral yang konsisten dengan Pilar 1 dan hukum domestik sehingga tidak berbenturan dengan tax treaty yang berlaku saat ini (klausul permanent establishment).
Berbeda dengan multilateral instrument (MLI), konvensi multilateral Pilar 1 tidak ditujukan untuk merubah suatu definisi dalam tax treaty, tetapi untuk menciptakan perjanjian stand alone yang akan mengatur hak pemajakan baru berdasarkan ketentuan Pilar 1.
Namun, realita menyusun konvensi multilateral yang konsisten dengan Pilar 1 dan hukum domestik tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Jinyan Li (2021) dalam publikasinya berjudul The Legal Challenges of Creating a Global Tax Regime with the OECD Pillar One Blueprint membenarkan hal tersebut. Dalam jurnalnya, Li membahas beberapa kendala basis hukum dan teknis yang mungkin akan dihadapi.
Pertama, limitasi instrumen hukum internasional publik. Konvensi multilateral Pilar 1 tidak dapat berlaku dengan sendirinya (self-executing). Dengan kata lain, konvensi tersebut hanya dapat dianggap sebagai sumber hukum di suatu negara setelah melalui proses ratifikasi atau pengesahan.
Kedua, kekhawatiran domestik untuk mengadopsi Pillar 1. Tak dapat dimungkiri, penerimaan pajak di yurisdiksi pasar meningkat lantaran hak pemajakan akan didasarkan pada hasil penjualan di yurisdiksi pasar. Dengan demikian, negara tempat mayoritas multinational headquarters berada (seperti AS) harus ‘merelakan’ sebagian hak pemajakannya kepada yurisdiksi pasar.
Ketiga, kompleksitas hukum. Menggabungkan ketentuan Pillar 1 ke dalam ketentuan domestik suatu negara dengan sistem hukum pajak yang kompleks ataupun sederhana memiliki tantangannya sendiri, meskipun dengan alasan yang berbeda. Li memberikan contoh konkret dengan membandingkan antara sistem pajak Kanada dan China.
Kanada merupakan contoh negara dengan sistem pajak yang kompleks dan memiliki ketentuan transfer pricing (Section 247 dan Section 233.8) yang berbeda dengan prinsip internasional karena tidak mengacu pada OECD Transfer Pricing Guidelines dan tidak mengikuti rekomendasi BEPS Action Plan 13 terkait dengan kewajiban menyusun master file dan local file.
Apabila mengadopsi Pillar 1, ketentuan pajak penghasilan (PPh) Kanada setidaknya akan diamandemen di beberapa area, seperti memperluas definisi atas pengujian “menjalankan kegiatan usaha di Kanada” dalam subsection 2(3), mengubah penentuan laba dan laba kena pajak dalam section 3 dan 115, mengubah ketentuan transfer pricing terkait penggunaan metode formulary allocation dalam section 247, dan sebagainya.
Sebaliknya, China memiliki sistem pajak lebih sederhana dan secara umum telah sejalan dengan aturan perpajakan internasional. China juga tidak memerlukan suatu instrumen hukum khusus (e.g. ratifikasi) untuk menjadikan konvensi internasional sebagai sumber hukum di negaranya.
Untuk itu, konvensi multilateral Pilar 1 akan berjalan berdampingan dengan hukum pajak domestik China tanpa memerlukan perubahan yang signifikan, kecuali apabila terdapat ketentuan yang saling bertentangan satu sama lain.
Keempat, tujuan yang kurang jelas. Proposal Pilar 1 menyebutkan tujuan dari proposal ini adalah “to ensure fairness and equity in our tax systems and fortify the international tax framework ...; it can also help put government finances back on a sustainable footing.”
Li menilai cita-cita tersebut merupakan aspirasi belaka dan tidak bersifat operasional karena solusi yang ditawarkan oleh Pillar 1 tersebut dinilai tidak ditujukan untuk mencapai keadilan distributif.
Kelima, ambivalensi terhadap Arm’s Length Principle (ALP). Li menilai OECD tidak konsisten dalam mengusung pendekatan alokasi proposal Pilar 1 yang secara prinsip serupa dengan metode global formulary apportionment. Terlebih, OECD sendiri sebelumnya tidak merekomendasikan metode tersebut karena dinilai tidak sejalan dengan ALP.
Dalam jurnal ini penulis berkesimpulan bahwa proposal Pilar 1 memerlukan basis hukum yang jelas dalam implementasinya. Hambatan hukum di tingkat nasional dikhawatirkan akan menentukan nasib pencapaian konsensus global atas proposal Pillar 1.
Terlepas dari dukungan Indonesia terhadap solusi yang ditawarkan oleh proposal Pilar 1, diharapkan pemerintah mempertimbangkan secara matang penentuan basis hukum yang tepat dalam menerapkan Pilar 1.
Jangan sampai urgensi untuk mencapai konsensus global tersebut justru kontraproduktif dengan rencana pemerintah dalam meminimalisasi distorsi akibat kesenjangan antara transformasi teknologi dengan rezim perpajakan saat ini.
Meski proposal Pilar 1 dianggap amat kompleks untuk diterapkan dan masih membutuhkan banyak simplifikasi, bukan berarti proposal Pilar 1 mustahil untuk diterapkan. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einsten, “if at first an idea is not absurd, then there is no hope for it.”
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.