Senior Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina dalam focus group discussion (FGD) Kesiapan dan Kebijakan Pemerintah dalam Pengenaan Pajak Digital di Indonesia oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Rabu (9/10/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Rencana penerapan Pilar 1 Amount A dari Two-Pillar Solution yang disusun OECD/G-20 BEPS Inclusive Framework diperkirakan akan memunculkan kompleksitas yang sangat tinggi.
Senior Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina mengatakan kompleksitas Pilar 1 Amount A ini antara lain mencakup kompleksitas peraturan, potensi pajak berganda, dan beban administratif. Oleh karena itu, penerapan Pilar 1 Amount A akan membutuhkan ketentuan yang jelas dan berkepastian hukum tinggi.
"Kalau kepastian hukum dan ketentuan penerapannya sulit dipahami, penerapannya nanti juga akan sulit dilakukan," katanya dalam focus group discussion (FGD) Kesiapan dan Kebijakan Pemerintah dalam Pengenaan Pajak Digital di Indonesia oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Rabu (9/10/2024).
Hamida mengatakan Pilar 1 Amount A bertujuan menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik di yurisdiksi pasar. Yurisdiksi pasar akan mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima perusahaan multinasional yang tercakup pada Pilar 1 Amount A.
Pilar 1 semula disusun dengan cakupan perusahaan multinasional di bidang teknologi digital. Seiring berjalannya waktu, cakupannya meluas pada perusahaan dengan pendapatan global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.
Meski demikian, Pilar 1 Amount A baru akan berlaku apabila 30% negara yang mewakili 60% ultimate parent entity menandatangani dan meratifikasi multilateral convention (MLC). Adapun sejauh ini, negara seperti Amerika Serikat (AS) yang menjadi markas sebagian besar grup perusahaan multinasional masih enggan menandatanganinya.
Apabila nantinya Pilar 1 Amount A ini disepakati, dia menjelaskan terdapat 3 hal utama yang perlu menjadi perhatian. Pertama, kompleksitas peraturan yang tecermin dari jumlah halaman dan pasar dari MLC Pilar 1 Amount A beserta explanatory statement yang mencapai 850 halaman dan 53 pasal.
Kedua, potensi pengenaan pajak berganda karena Pilar 1 Amount A yang merujuk pada konsepsi formula apportionment hadir di tengah berlakunya ketentuan distribusi laba existing yang merujuk pada arm's length principle. Ketiga, beban administratif yang timbul dari penerapan Pilar 1 Amount A berkaitan erat dengan penyampaian SPT dan pembayaran pajak.
"Beban administratif ini banyak yang harus dipersiapkan, baik dari sisi perusahaan maupun pemerintah yang memang dia melakukan pemungutan pajak. Secara keseluruhan harus siap dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya," ujarnya.
Di sisi lain, Hamida menambahkan UN juga mencoba memberikan solusi untuk menghadapi persoalan pajak digital melalui pembentukan UN Tax Convention. Pasal 12B dalam UN Model bertujuan memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari jasa digital otomatis (automated digital services/ADS) kepada negara domisili.
Menurutnya, Pasal 12B UN Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain memberikan cara pemajakan yang lebih sederhana sehingga akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih stabil atas penghasilan dari ADS.
Sementara untuk kelemahannya, kebijakan Pasal 12B UN Model dianggap tidak efisien dan tidak efektif diaplikasikan dalam beberapa situasi.
Dibandingkan dengan Pilar 1 Amount A, Pasal 12B UN Model dinilai lebih mewakili kepentingan negara-negara berkembang. Tak heran, beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Jepang, dan anggota Uni Eropa menolaknya.
"UN dan OECD mencoba saling beriringan, tetapi kepentingannya berbeda. Secara tersirat, dalam konsep UN Model cenderung mendukung negara-negara berkembang," imbuhnya. (sap)