THE Law Review kembali menerbitkan edisi ketujuh dari buku Transfer Pricing Law Review pada Juli 2023. Dalam edisi kali ini, ada pembahasan rezim transfer pricing dari 14 negara, termasuk Indonesia.
Pembahasan mengenai Indonesia masih kembali dipercayakan kepada 2 profesional DDTC. Keduanya adalah Manager of DDTC Consulting Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani. Kesempatan pada tahun ini merupakan kali keenam DDTC dipercaya sebagai kontributor pada buku tersebut.
Dalam edisi kali ini, kedua profesional DDTC bergabung dengan kontributor yang berasal dari 13 negara lainya seperti Brazil, Canada, Cyprus, Jerman, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Luksemburg, Meksiko, Swiss, Amerika Serikat, dan Britania Raya.
Steve Edge dan Dominic Robertson, editor buku ini, mengatakan Transfer Pricing Law Review dimaksudkan untuk memberi gambaran umum mengenai aturan transfer pricing.
Setiap bab dalam buku ini merangkum aturan transfer pricing negara, menjelaskan penanganan sengketa transfer pricing mulai dari pemeriksaan awal hingga penyelesaian, serta membahas interaksi antara transfer pricing dan bagian lain dalam aturan pajak (seperti upaya pencegahan pajak berganda).
Selain Brazil, semua negara yang tercakup dalam tinjauan sudah menerapkan arm’s-length standard dan mematuhi, setidaknya sampai batas tertentu, sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines. Brazil sedang mempertimbangkan penyelarasan aturan transfer pricing dengan norma dari OECD.
Namun, masih ada perbedaan signifikan, baik dalam interpretasi negara terhadap arm’s-length standard (seperti metode penetapan harga yang lebih disukai) maupun dalam administrasi aturan (seperti persyaratan dokumentasi yang diberlakukan).
“Oleh karena itu, praktisi penetapan harga transfer tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa OECD Transfer Pricing Guidelines berisi semua jawaban. Harus terlibat dengan penerapan perinciannya di setiap negara,” tulis Steve dan Dominic dalam pengantar buku ini.
Steve dan Dominic mengatakan adanya kepentingan ekonomi membuat aturan transfer pricing sebagai prioritas utama dalam agenda pajak perusahaan (lebih luas lagi menyangkut agenda politik) selama bertahun-tahun ke depan. Aturan akan terus berkembang pesat.
Mereka mengharapkan ada beberapa aspek yang akan menjadi salah satu fokus utama dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, litigasi sengketa transfer pricing diproyeksi akan menjadi makin umum. Beberapa negara memiliki catatan panjang mengenai litigasi sengketa transfer pricing.
Kedua, sifat sengketa transfer pricing ‘sangat berat’ sehingga sering kali membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai penyelesaian. Ada potensi sulitnya untuk memastikan ketersediaan bukti yang akurat. Dokumentasi transfer pricing berkualitas tinggi perlu disiapkan secara real time.
Ketiga, adanya putusan Fiat Chrysler yang diterbitkan pada November 2022. Putusan Fiat Chrysler mengurangi kemampuan Komisi Eropa untuk bertindak sebagai pengawas tambahan tranfer pricing. Selain itu, wajib pajak perlu bergulat dengan 27 rezim transfer pricing terpisah di seluruh Uni Eropa.
Keempat, proyek OECD/G-20 untuk mengatasi dampak digitalisasi terhadap pajak terus berkembang. Reformasi melalui pajak minimum pada Pilar 2 jauh lebih mungkin dilakukan. Namun, hal tersebut memiliki dampak yang ‘kurang radikal’ terhadap transfer pricing dibandingkan Pilar 1.
“Namun demikian, akan ada banyak masalah yang harus diselesaikan,” imbuh Steve dan Dominic.
Dalam Chapter 5 buku ini, Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani mengawali pembahasan rezim transfer pricing di Indonesia dengan perkembangan dasar hukum yang sudah dirilis oleh pemerintah. Ulasan menyajikan peraturan terkini terkait dengan transfer pricing di Indonesia.
Mereka menyebut Indonesia telah secara aktif mengubah regulasi tentang transfer pricing agar sejalan dengan Rencana Aksi BEPS OECD. Langkah tersebut pada gilirannya membuat persyaratan transfer pricing documentation (TP Doc) lebih komprehensif.
Kedua profesional DDTC tersebut menekankan pentingnya wajib pajak untuk mempertimbangkan TP Doc sebagai garis pertahanan pertama dalam pemeriksaan. TP Doc yang kuat dapat membantu mengurangi sengketa dengan otoritas pajak.
Meskipun jumlah pemeriksaan pajak tetap tinggi selama 3-4 tahun terakhir, ada juga tren yang berkembang untuk pemanfaatan Advance Pricing Agreement (APA) di Indonesia sebagai sarana untuk menghindari sengketa atau mencapai penyelesaian.
"Meskipun APA relatif baru, prospeknya tetap menjanjikan karena dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil menyelesaikan banyak APA bilateral dengan negara-negara perdagangan utama," tulis Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani dalam ulasannya.
Keduanya juga membahas percepatan pembuatan kebijakan pajak menyangkut digitalisasi ekonomi setelah adanya pandemi Covid-19. Indonesia juga telah memperkenalkan pajak transaksi elektronik (PTE) meskipun belum diimplementasikan.
Di sisi lain, PPN atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) telah diterapkan tanpa gangguan. Hal ini dikarenakan sudah ada konsensus internasional tentang destination principle pada PPN. Dengan demikian, kebijakan ini hanya bersifat terobosan administrasi.
Sebagai informasi, The Law Reviews merupakan penerbit dari Inggris yang berkomitmen dalam memberikan tinjauan hukum bisnis di berbagai negara. Berbagai isu mulai dari hukum investasi, restrukturisasi usaha, hingga kompetisi usaha sudah dituangkan dalam buku.
Buku ini juga memberikan potret baik di negara maju dan berkembang yang akhirnya memberikan paduan yang menarik tentang konsistensi penerapan arm’s length principle. Perkembangan pengaturan di berbagai negara juga sejalan dengan dinamika terbaru perpajakan internasional.
Buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha dan akademisi, tapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan transfer pricing di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Bagaimana, tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library. (kaw)