INDONESIA telah memungut beberapa jenis pajak. Katakanlah, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak penghasilan (PPh), serta cukai.
Sayangnya, berbagai pungutan pajak itu belum bisa optimal mendorong penerimaan negara. Buktinya, pada 2024 tax ratio Indonesia hanya berada di level 10,08%. Angka itu bahkan turun 0,15% dibanding capaian tahun sebelumnya.
Padahal, dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah menargetkan rasio pajak sebesar 15% pada akhir periode. Untuk mengejar target ambisius ini, sumber penerimaan pajak baru perlu digali.
Di sisi lain, isu pajak makin sensitif. Pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya tuntas, rendahnya kepercayaan publik terhadap kondisi politik, serta pendapatan per kapita yang relatif terbatas, membuat masyarakat melihat pajak sebagai beban tambahan. Terlebih jika alokasinya dinilai belum sesuai harapan.
Karena itu, langkah diversifikasi pajak sebaiknya dilakukan tanpa membebani warga lokal. Sekaligus, tetap menjaga laju pemulihan ekonomi yang mulai bangkit.
Berpijak pada kondisi tersebut, mengapa wisatawan mancanegara (wisman) tidak dilibatkan sebagai bagian dari solusi?
Pertanyaan ini terlintas ketika saya mengingat pengalaman pribadi saat check-in hotel di Kuala Lumpur pada 2020 lalu. Meski kamar sudah dibayar lunas melalui aplikasi, resepsionis menambahkan biaya RM10 per malam. Biaya itu mereka sebut dengan tourism tax, yang khusus dikenakan bagi pemegang paspor asing.
Pariwisata menjadi salah satu sektor strategis bagi Indonesia. Sektor ini menggerakkan usaha lokal, membuka lapangan kerja, mendatangkan devisa, hingga ikut menyumbang PDB.
Namun, kontribusi fiskalnya belum terasa optimal. Padahal jika dilihat dari perspektif keadilan, selama ini turis bisa mengajukan pengembalian PPN (VAT refund) ketika keluar dari daerah pabean.
Dengan insentif yang didapat itu, patut bila mereka juga semestinya memiliki semacam 'kewajiban' untuk membayar iuran. Terlebih lagi, wisman ikut memanfaatkan fasilitas publik yang dibiayai pajak, infrastruktur jalan misalnya.
Berkaca pada airport tax di bandara, bukankah wajar jika lokasi lain yang mereka pijak turut dikenakan biaya serupa? Sampah, penggunaan energi, hingga tekanan terhadap lingkungan (ecological footprint) jelas menimbulkan dampak yang perlu diinternalisasi.
Jika warga lokal rutin membayar retribusi untuk mendukung layanan publik, bukankah wisman juga perlu berkontribusi?
Tourism tax sendiri bukanlah hal baru. Malaysia telah memberlakukan tourism tax sejak 2017. Jepang memungut sayonara tax senilai ¥1.000 sejak 2018, baik bagi penduduk lokal maupun internasional. Maldives pun menerapkan green tax sejak 2015.
Selain itu banyak negara di Eropa yang mengaplikasikan jenis pajak ini. Di Indonesia, mekanisme serupa telah diadopsi pemerintah provinsi Bali dalam bentuk pungutan (bukan pajak) mulai tahun lalu.
Implementasi pajak wisata di berbagai itu terbukti sukses menambah kas negara.
Kementerian Keuangan Malaysia mencatat penerimaan lebih dari RM39,97 juta (sekitar Rp150 miliar, kurs Agustus 2025) hanya dalam 4 bulan pertama penerapan (themalaysianreserve.com, 2018).
Kesuksesan pajak wisata ini juga turut dirasakan Negeri Sakura. April lalu, Nippon.com melaporkan hasil sayonara tax senilai ¥44,3 milyar (hampir Rp5 triliun) pada awal implementasi. Meski sempat melemah karena Covid-19, penerimaannya terus meroket hingga menembus ¥48,1 milyar pada 2024.
Sementara di Bali, pungutan Rp150.000 per turis asing telah menghasilkan sekitar Rp287 miliar dalam 10 bulan, meski baru mencakup 40% wisman (ddtc.co.id, 2024). Capaian-capaian tersebut membuktikan bahwa instrumen pajak wisata ini berpotensi signifikan sebagai tambahan kas negara.
Kekhawatiran bahwa pajak wisata akan menekan kunjungan wisman memang masuk akal, terlebih dengan target 16 juta wisman pada 2025. Maldives misalnya, meski pendapatan pajaknya naik 10%, kunjungan wisatawan justru menurun 5,4% (Adedoyin, dkk; 2023).
Padahal sektor ini menyumbang 70% pendapatan negaranya. Meski demikian, preseden global menunjukkan bahwa tarif tambahan bagi turis tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan kunjungan.
Malaysia, yang karakter pariwisatanya mirip Indonesia, dalam Laporan Tahunan Pariwisata 2019 mencatat kenaikan kunjungan 1% dari tahun sebelumnya sebanyak 26.100.784 wisman. Negara-negara lain seperti Singapura, Jepang, Selandia Baru, hingga Swiss membuktikan bahwa destinasi mahal tetap diminati asalkan value for money terjaga, sehingga hospitality yang diterima sepadan.
Hal serupa terlihat pula di Bali. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali, jumlah wisman tercatat 503.194 pada April 2024 dan 591.221 pada April 2025. Artinya, meski pungutan wisata telah diberlakukan, ada kenaikan kunjungan 17,5%.
Fakta tersebut mengukuhkan ketangguhan pariwisata Indonesia. Sebagai negara dengan julukan heaven on earth, Indonesia harus percaya diri bahwa keindahan alam dan budaya kita setara misal dengan Thailand yang juga menyiapkan pajak wisata bertajuk Kha Yeap Pan Din.
Kuncinya terletak pada nominal yang kecil dan pemanfaatan yang transparan. Misal, jika setiap wisman dikenakan Rp50.000, maka dari 10 juta wisman saja, pemerintah bisa meraih Rp500 miliar. Jika dihitung, total itu setara dengan 56,5% anggaran Kementerian Pariwisata tahun 2025 yaitu Rp 884,9 miliar (kompas.com, 2025).
Hasil pajak wisata dapat di-earmark untuk konservasi alam, promosi wisata, atau infrastruktur dan prasarana di lingkungan destinasi. Dengan demikian, manfaatnya kembali pada pelaku wisata.
Seperti praktik Maldives yang menggunakan green tax untuk menjaga ekosistem laut. Malaysia juga menggunakan hasil pajak ini untuk mempromosikan wisatanya dengan menggandeng televisi global seperti Discovery Channel juga BBC.
Jika sukses, kedepannya hasil pajak ini juga bisa digunakan untuk menggandeng ativitas wisata yang menimbulkan multiplier effect. Seperti Singapura yang mengunci konser Taylor Swift 2024 di Asean dan Asia Selatan hanya di Negara Singa itu saja. Pemerintah juga bisa melakukan diferensiasi tertentu, misal pajak untuk day-tripper atau kapal pesiar.
Meski potensial, penerapan pajak wisata di Indonesia akan menghadapi tantangan. Pertama, perlu kejelasan apakah pajak ini akan dikelola pusat, daerah, atau berupa pungutan khusus.
Berkaca ke Malaysia, diterapkan skema bagi hasil 50% dengan negeri bagian agar porsinya adil. Langkah itu bijak jika diadopsi Indonesia, mengingat ada destinasi yang dikelola pusat dan ada yang dimiliki daerah. Indonesia juga telah memiliki mekanisme DBH.
Kedua, teknisnya harus efektif dan efisien bagi seluruh pelaku wisata.
Ketiga, perlunya landasan hukum kuat. Karena konsep tourism tax tidak termasuk objek pajak dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), perlu regulasi yang memberi dasar kuat, seperti Tourism Tax Act 2017 milik Malaysia.
Jika ketiga hal ini jelas, tourism tax bisa menjadi instrumen fiskal yang adil, transparan, sekaligus mendukung keberlanjutan pariwisata. (sap)