TULANG punggung ekonomi Indonesia, sebuah kalimat yang pantas untuk mendeskripsikan peran UMKM. Pada 2023, 66 juta pelaku usaha UMKM berkontribusi sebesar 61% terhadap PDB, serta menyerap 97% tenaga kerja atau sekitar 117 juta orang (Kadin Indonesia, 2025).
Ironisnya, dari puluhan juta UMKM, hanya 2,3 juta yang memiliki NPWP pada 2022. Bahkan, pada 2023 hanya 432.000 UMKM yang benar-benar menyetor PPh final 0,5% dengan total Rp2,49 triliun (Candra, 2024; Madjid, 2025).
Angka penerimaan pajak yang didapat negara sangat kecil karena UMKM masih didominasi shadow economy dan tergolong hard-to-tax sector. Belum lagi, terdapat batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp500 juta.
UMKM juga sulit patuh karena desain pajak yang ada kurang berpihak. Tarif flat 0,5% membuat beban pajak antara omzet Rp501 juta dan Rp4,8 miliar sama. Kebijakan ini juga tidak permanen sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Untuk memajaki UMKM, pemerintah perlu berani dalam mendesain ulang kebijakan PPh final 0,5%. Salah satunya ialah dengan mengganti tarif flat dengan skema progresif sesuai dengan teori daya pikul (progressive micro-tax system) dan tanpa masa berlaku.
Saat ini, PPh final UMKM diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022 dengan tarif tunggal 0,5% dari omzet dan berlaku terbatas selama 3–7 tahun, tergantung bentuk usaha wajib pajak. Skema ini sederhana dan digemari pelaku usaha.
Terbukti pada 2024, pemerintah memperpanjang masa berlakunya 1 tahun atas desakan UMKM. Baru-baru ini, pemerintah bahkan akan memperpanjang hingga 2029. Fenomena ini menunjukkan bahwa UMKM sebenarnya tidak keberatan membayar pajak sepanjang aturan sederhana dan pasti.
Masalahnya, bila tarif flat 0,5% dibiarkan permanen, penerimaan negara akan stagnan. Pemerintah hanya akan menerima 0,5% dari omzet UMKM di bawah Rp4,8 miliar, berapapun nilainya, tanpa peluang tambahan. Karena itu, diperlukan desain ulang melalui tarif progresif.
Skema tersebut menghapus batasan Rp500 juta bebas pajak, lalu membuat lapisan tarif. Untuk omzet hingga Rp500 juta dikenai tarif 0,3%. Lalu, omzet di atas Rp500 juta hingga Rp2,4 miliar dikenai tarif 0,5% dan omzet di atas Rp2,4 miliar hingga Rp4,8 miliar dikenai tarif 1%.
Dengan desain tersebut, penerimaan negara meningkat, sedangkan UMKM tetap dibebani tarif ringan sesuai dengan daya pikul.
Namun, skema tersebut tidaklah cukup. Kecilnya jumlah UMKM yang terdaftar sebagai wajib pajak dibandingkan dengan populasinya perlu ditangani. Karena itu, penerapan progressive micro-tax system harus dibarengi pengawasan berbasis big data.
Dengan pemetaan digital, pemerintah dapat secara aktif menetapkan UMKM sebagai wajib pajak dan menutup celah shadow economy sekaligus menjawab tantangan pemajakan hard-to-tax sector.
Jika 2 langkah tersebut dijalankan bersamaan, negara tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga memberikan kepastian dan keadilan yang dinantikan UMKM.
Perbedaan mendasar antara PP 55/2022 dan progressive micro-tax system terletak pada desain tarif. PP 55/2022 menetapkan tarif tunggal 0,5% untuk omzet hingga Rp4,8 miliar dengan PTKP untuk omzet di bawah Rp500 juta.
Sementara itu, progressive micro-tax system menetapkan tarif progresif berlapis tanpa PTKP. Jika disimulasikan pada UMKM dengan omzet Rp400 juta per bulan atau Rp4,8 miliar setahun, hasilnya jelas berbeda.
Dalam PP 55/2022, hanya Rp4,3 miliar yang menjadi dasar pengenaan karena Rp500 juta pertama bebas pajak. Dengan tarif flat 0,5% maka total pajak yang disetorkan UMKM tersebut senilai Rp21,5 juta. Namun, dengan tarif progresif, pajak yang disetor naik menjadi Rp35 juta.
Artinya, tanpa menaikkan tarif secara ekstrem, penerimaan negara meningkat signifikan. Dengan tarif progresif, pemerintah tidak lagi terjebak stagnasi penerimaan. Sementara itu, UMKM terbebas dari ketidakpastian.
Dengan skema progresif dan pengawasan berbasis big data, setidaknya separuh dari total UMKM bisa menjadi wajib pajak aktif. Artinya, potensi penerimaan negara melonjak berkali lipat, sekaligus menghadirkan kepastian dan keadilan permanen bagi jutaan pelaku usaha.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.