INSENTIF pajak kerap kali dipandang sebagai gula-gula fiskal. Pemanis yang diberikan negara untuk menarik investor atau menyelamatkan ekonomi yang lesu. Namun, jika tidak tepat sasaran, insentif justru dapat menjadi beban fiskal: penerimaan negara menurun, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak.
Di tengah pemulihan pascapandemi dan tekanan fiskal akibat gejolak global, Indonesia membutuhkan desain insentif perpajakan yang cerdas, terukur, dan akuntabel.
Pemerintah sejauh ini telah cukup progresif dalam menghadirkan beragam fasilitas, mulai dari tax holiday bagi investasi besar, tax allowance untuk sektor prioritas, hingga super tax deduction bagi kegiatan vokasi dan penelitian.
Kebijakan itu mencerminkan semangat pro-investasi. Namun, efektivitasnya tidak selalu sebanding dengan pengorbanan fiskal yang ditanggung negara. Kementerian Keuangan mencatat tidak semua perusahaan penerima tax holiday merealisasikan rencana investasinya secara penuh.
Di sinilah pentingnya reformasi: bukan sekadar memberi insentif saja, tetapi mengaitkannya dengan pencapaian kinerja ekonomi nyata. Indonesia bisa meniru negara tetangga seperti Vietnam atau Malaysia yang menerapkan insentif berbasis performa.
Insentif di kedua negara itu hanya aktif ketika perusahaan benar-benar menyerap tenaga kerja lokal, mengerek ekspor, atau berkontribusi pada transfer teknologi. Model ini dapat diadopsi Indonesia dengan skema pemberian bertahap sesuai dengan realisasi indikator makro yang terukur.
Misal, perusahaan baru dapat mengklaim potongan pajak jika telah menyerap minimal 200 pekerja lokal atau bermitra dengan 10 UMKM dalam rantai pasok. Dengan pendekatan demikian, insentif menjadi kontrak kinerja dua arah.
Lebih jauh, teknologi digital dapat menjadi instrumen penting dalam merancang dan memantau efektivitas insentif. Integrasi data antara Ditjen Pajak, Kementerian Investasi, dan Kementerian Ketenagakerjaan memungkinkan pemerintah melacak dampak langsung dari insentif: apakah terjadi peningkatan tenaga kerja, ekspansi produksi, atau pertumbuhan aset.
Dengan pendekatan berbasis data, pengambilan keputusan fiskal bukan lagi mengandalkan asumsi, melainkan hasil konkret yang terukur.
Selain itu, penciptaan insentif yang adil harus diiringi dengan penguatan basis penerimaan. Indonesia perlu menyasar sumber-sumber pajak baru tanpa menambah beban berlebihan bagi dunia usaha.
Ekonomi digital, sektor informal modern, serta UMKM yang mulai masuk ekosistem digital dapat dikenai pajak ringan dengan imbalan pelatihan, akses sistem POS (point of sales), dan integrasi ke sistem pelaporan pajak.
Model serupa telah diterapkan di Rwanda dan Kenya, yang berhasil meningkatkan kepatuhan sukarela UMKM melalui pendekatan nudging berbasis insentif, bukan sanksi.
Kejelasan hukum atas insentif juga penting. Tidak sedikit pelaku usaha ragu memanfaatkannya karena khawatir dituding menyalahgunakan fasilitas atau terkendala birokrasi pengajuan yang rumit.
Untuk itu, reformasi administrasi juga menjadi prasyarat mutlak. Melalui sistem OSS dan dashboard perpajakan, proses permohonan serta evaluasi insentif dapat dilakukan secara daring, transparan, dan cepat.
Ke depan, insentif juga perlu diarahkan pada pencapaian nilai tambah jangka panjang. Pemerintah dapat mengembangkan green incentives, seperti pengurangan pajak bagi perusahaan yang menekan jejak karbon, memproduksi energi terbarukan, atau menerapkan prinsip ekonomi sirkular.
Dengan begitu, perpajakan menjadi instrumen yang tidak hanya mendukung pertumbuhan, tetapi juga transisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Singkatnya, desain insentif pajak saat ini perlu bergeser dari paradigma “kebaikan hati fiskal” menjadi kemitraan strategis antara negara dan pelaku usaha. Insentif harus dipandang sebagai investasi negara yang memberi timbal balik.
Dengan insentif yang berbasis kinerja, terukur, serta didukung digitalisasi, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kekuatan APBN.
Insentif harus diarahkan untuk menumbuhkan sektor prioritas dan menggiring pasar menuju efisiensi, produktivitas, serta keadilan. Di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan global, Indonesia saatnya meracik ulang kebijakan insentif perpajakan: lebih tajam, adil, dan berorientasi pada hasil nyata.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.