LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Pajak Karbon Biru

Redaksi DDTCNews
Jumat, 26 September 2025 | 15.00 WIB
Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Pajak Karbon Biru
M. Daffa Fahada Lubis,
Kota Tangerang Selatan, Banten

INDONESIA kerap kali disebut sebagai salah satu pusat kekayaan bahari terbesar di dunia. Laut tidak hanya sebagai penyedia pangan, energi, dan jalur perdagangan, tapi juga menyimpan potensi strategis lain yang makin mendapat perhatian global.

Potensi strategis yang dimaksud ialah karbon biru (blue carbon). Karbon biru adalah karbon dioksida yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut seperti mangrove, padang lamun, atau rawa asin.

Kajian World Bank (2022) memperkirakan cadangan karbon biru Indonesia mencapai lebih dari 3,4 miliar ton CO2e, menjadikannya salah satu yang terbesar secara global. Jika dimonetisasi melalui mekanisme pasar karbon, potensi ekonominya diperkirakan menembus US$60 miliar.

Melihat kajian tersebut, akan disayangkan apabila Indonesia melewatkan potensi karbon biru sebagai sumber penerimaan baru. Terlebih, kerangka hukumnya juga sudah tersedia melalui Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (KEK).

Dalam perpres tersebut ditegaskan pengendalian emisi dapat dilakukan melalui perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, hingga pungutan karbon. Peraturan Menteri Kelautan dan Kementerian No. 1/2025 juga telah mengatur tata kelola perdagangan karbon laut.

Namun, belum ada instrumen fiskal yang memastikan negara ikut menikmati nilai ekonomi karbon biru. Nah, di sinilah pajak karbon biru (Blue Carbon Tax) menemukan relevansinya.

Pajak ini dapat diposisikan sebagai bagian dari blue fiscal policy yang menjadikan ekosistem laut bukan hanya objek konservasi, melainkan juga basis fiskal.

Pajak karbon biru juga dapat menghadirkan climate resilient revenue sebagai sumber penerimaan baru yang berkelanjutan lantaran dunia makin menuntut adanya solusi iklim.

Selain itu, dari sisi ekonomi, pajak karbon biru relatif minim distorsi. Pungutan tidak membebani konsumsi rumah tangga atau usaha kecil, tetapi diambil sebagian kecil dari transaksi kredit karbon yang bersifat tambahan.

Seperti dicatat UNEP (2023), setiap US$1 yang diinvestasikan pada restorasi mangrove memberi manfaat ekonomi 3 – 4 kali lipat. Dengan levy ringan, misal 2%, negara bisa memperoleh tambahan penerimaan tanpa mengganggu pasar karbon, bahkan memperkuat kredibilitasnya.

Dari sisi keadilan, pajak karbon biru merupakan mekanisme carbon rent capture. Nilai ekonomi karbon biru tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang, tetapi harus kembali ke masyarakat. Dari pajak karbon biru, pemerintah bisa membiayai rehabilitasi mangrove, infrastruktur, hingga program bagi nelayan kecil.

Terlebih, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), masyarakat pesisir merupakan ujung tombak konservasi, tetapi justru paling rentan terhadap abrasi dan kenaikan muka laut. Pajak ini pada gilirannya memastikan mereka tidak ditinggalkan dalam transisi.

IPCC (2022) juga menekankan ekosistem pesisir sebagai solusi iklim berbasis alam yang paling efektif. Jika negara mampu menginternalisasi nilainya melalui pajak, manfaatnya ganda: menjaga keberlanjutan sekaligus memperkuat fiskal.

Aplikasi di Luar Negeri

Pertanyaannya kini, apakah bisa dijalankan di Indonesia? Praktik global menunjukkan jalannya.

Di Australia, pemerintah melalui Emissions Reduction Fund telah menetapkan blue carbon method untuk memberi insentif finansial pada restorasi mangrove dan rawa asin, yang hasil kredit karbonnya diperdagangkan di pasar domestik.

Hal tersebut menunjukkan laut dapat menjadi basis fiskal tanpa melemahkan ekonomi, bahkan menguatkannya. Indonesia, dengan stok karbon biru jauh lebih besar, memiliki alasan lebih kuat untuk melangkah.

Landasan regulasi pun tidak perlu dibangun dari nol. Dengan Perpres 98/2021 sebagai payung hukum, pemerintah cukup mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk menetapkan pajak karbon biru.

Mekanismenya sederhana: setiap transaksi kredit karbon biru yang tercatat di registry nasional otomatis dipotong 1–3% dan disetor ke kas negara. Integrasi dengan sistem perpajakan modern akan menjaga transparansi sekaligus menutup celah kebocoran.

Meski begitu, kekuatan utama pajak ini bukan hanya pada regulasi, melainkan pada narasi. Blue Carbon Tax harus dipahami sebagai ecological dividend, kontribusi kecil yang memberi manfaat besar bagi lingkungan dan masyarakat.

Pajak untuk restorasi mangrove, misalnya, dapat mengurangi banjir rob di kampung nelayan atau membangun sekolah di pesisir sehingga pajak dipandang bukan beban, melainkan gotong royong menghadapi krisis iklim.

Pada akhirnya, Blue Carbon Tax merupakan simbol inovasi fiskal Indonesia yang menawarkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, sekaligus menegaskan laut sebagai halaman depan politik fiskal.

Penerapan pajak ini melalui tata kelola yang kuat akan menciptakan warisan laut biru yang produktif secara fiskal, adil bagi masyarakat, dan lestari secara ekologis untuk masa depan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Alika Marsha
baru saja
kerenn banget, semangat terus ka
user-comment-photo-profile
Tishari Aufa
baru saja
kak daffa kerenn bangett
user-comment-photo-profile
Chika Aurelie
baru saja
Kerenn bgt ka daff
user-comment-photo-profile
NADIA AALEYAH
baru saja
mantapppp
user-comment-photo-profile
Elvi Syahrina Lubis
baru saja
Kerenn Bang Daffaa