SEKTOR konstruksi memegang peranan penting bagi penerimaan pajak nasional. Menurut data BPS (2024), kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB mencapai 10,43%, sekaligus menempati peringkat kedua di kawasan Asean setelah Kamboja.
Sektor ini memang punya peran strategis dalam pembangunan infrastruktur serta penciptaan lapangan kerja baru. Namun, terdapat dilema tersendiri dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama pada praktik pemotongan PPh atas proyek yang dikerjakan oleh subkontraktor atau pemborong.
Secara umum, PPh jasa konstruksi diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Ketentuan pelaksanaannya dijabarkan dalam PP 9/2022 yang mengatur berbagai tingkatan tarif sesuai dengan skala usaha dan kepemilikan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK).
Contoh, tarif pemotongan pajak atas usaha jasa konstruksi masuk dalam kategori kecil yang memiliki SIUJK sebesar 1,75%. Jika tidak memiliki SIUJK maka tarifnya naik menjadi 4%.
Namun, besaran pajak yang dipotong oleh kontraktor utama terhadap pemborong rupanya sering kali menjadi sumber persoalan. Secara prinsip, kewajiban pemotongan berada pada kontraktor utama sebagai pemberi kerja, dan pemborong seharusnya menerima bukti potong.
Dalam praktiknya, para pemborong justru kerap kali menolak pemotongan pajak karena dianggap menggerus laba mereka. Apalagi, para pemborong ini biasanya sudah memberikan best price kepada kontraktor utama.
Di sisi lain, apabila potongan pajak ditanggung oleh kontraktor utama maka biaya proyek otomatis meningkat dan laba berkurang. Belum lagi, dalam suatu proyek konstruksi, kerap kali muncul biaya tak terduga di luar estimasi awal.
Lebih lanjut, pemborong dengan kualifikasi kecil dan omzet di bawah Rp4,8 miliar juga tidak dapat memanfaatkan fasilitas tarif final UMKM sebesar 0,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (3) PP 55/2022.
Kondisi tersebut mendorong sebagian pelaku usaha mengatur ulang skema kontrak untuk menghindari pemotongan pajak, meskipun langkah tersebut berisiko melanggar hukum dan menimbulkan sanksi perpajakan bagi kontraktor utama.
Praktik penghindaran pemotongan pajak pada gilirannya menciptakan distorsi ekonomi. Kontraktor yang tidak patuh dapat menawarkan harga lebih kompetitif dibandingkan dengan kontraktor patuh.
Sementara itu, perusahaan yang taat pajak justru harus menaikkan harga untuk menjaga profitabilitas. Akibatnya, muncul persaingan usaha tidak sehat dan potensi kebocoran penerimaan pajak yang signifikan.
Selain itu, kemudahan dan insentif dalam pengurusan SIUJK juga perlu diperluas sehingga pelaksana proyek skala kecil dapat menikmati tarif lebih rendah secara resmi.
Dalam hal pengawasan, Indonesia dapat mencontoh penerapan Taxable Payments Annual Report (TPAR) di Australia. Melalui mekanisme ini, kontraktor wajib melaporkan seluruh pembayaran kepada subkontraktor sehingga otoritas pajak dapat melakukan pengecekan silang terhadap kepatuhan pajak.
Sistem tersebut tak hanya memperkuat transparansi rantai pembayaran di sektor konstruksi, tetapi juga meminimalkan potensi penghindaran.
Edukasi pajak bagi pelaku usaha konstruksi juga perlu diperluas, terutama kepada pemborong atau subkontraktor perorangan untuk bertransformasi menjadi badan hukum dengan jaminan kemudahan administrasi perpajakan. Jika langkah ini berhasil, pengawasan oleh DJP terhadap pelaporan pajak akan lebih mudah dilakukan.
Kemudian, dari sisi teknis, kontraktor dan pemborong perlu memastikan adanya kontrak kerja yang transparan, termasuk klausul mengenai kewajiban pemotongan pajak sehingga tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab.
Penulis memandang penerimaan pajak dan pertumbuhan usaha di sektor konstruksi sejatinya dapat berjalan beriringan. Potensi kebocoran pajak yang masih tinggi, khususnya pada level subkontraktor, bisa diatasi dengan kebijakan yang adaptif dan kolaboratif antara DJP, asosiasi jasa konstruksi, dan para pelaku usaha.
Kolaborasi ini penting untuk menumbuhkan kesadaran, meningkatkan transparansi, dan memastikan bahwa setiap pihak memahami tanggung jawab perpajakannya.
Alhasil, penerimaan pajak dapat ditingkatkan tanpa perlu menaikkan tarif yang justru berpotensi memberatkan dunia usaha. Jika keseimbangan ini tercapai, sistem perpajakan Indonesia akan lebih berkeadilan dan mampu menopang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.