MEKANISME pemungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan perkotaan (PBB-P2) yang berbasis Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) mulai berjalan sejak 2024. Sebanyak 416 kabupaten, 98 kota, dan 1 provinsi (DKI Jakarta) turut menerapkannya.
Implementasi UU HKPD turut banyak mengubah ketentuan mengenai pajak daerah, dari yang sebelumnya mengacu pada aturan lama, yakni UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
UU HKPD hadir dengan pesan yang lugas: menguatkan desentralisasi fiskal. Salah satunya untuk menguatkan peran PBB-P2 dalam pendapatan asli daerah (PAD). Untuk menguliknya, mari kita pahami perhitungan penetapan besarnya PBB-P2 terutang.
Berbeda dengan sebelumnya, tarif PBB-P2 sekarang tidak langsung dikalikan dengan nilai jual objek pajak (NJOP), melainkan dikalikan dengan presentase tertentu dari NJOP, yaitu antara 20% hingga 100%. Di rezim UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), hal ini disebut sebagai nilai jual kena pajak (NJKP). Rumusnya menjadi sebagai berikut.
PBB-P2 Terutang = Tarif PBB-P2 x NJKP
PBB-P2 Terutang = Tarif PBB-P2 x Tarif NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
Sebagai catatan, dengan tarif PBB-P2 maksimal 0,5%, serta tarif NJKP berkisar antara 20% hingga 100%.
Dari rumus di atas, tampak jelas bahwa tarif NJKP sangat penting dalam menentukan besarnya PBB-P2 terutang. Selain penyesuaian NJOP, dengan asumsi tarif PBB-P2 yang sama maka optimalisasi pajak dapat dilakukan dengan ‘memainkan’ tarif NJKP.
Mengapa tarif NJKP? Alasannya, tarif NJKP cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (perkada, bukan perda). Artinya penentuan NJKP lebih fleksibel, bahkan jika ada perubahan setiap tahun.
Penetapan NJKP sejatinya merupakan diskresi bagi pemda untuk memperbarui NJOP secara berkala, tanpa mengubah beban PBB-P2 masyarakat secara drastis. Inilah peluang dan kemudahan yang disediakan oleh UU HKPD. Kepala daerah mestinya bisa menangkap dan memanfaatkan peluang ini.
Dalam pengelolaan PBB-P2, NJKP dapat berperan untuk melakukan proteksi dan optimalisasi terhadap objek pajak tertentu. Objek yang bernilai rendah, objek non-komersial, objek tanah bengkok/kas desa, misalnya, dapat diterapkan dengan tarif NJKP yang rendah.
Sementara itu, objek yang bernilai tinggi, objek komersial, objek khusus, dan lain-lain, dapat dikenakan tarif NJKP lebih tinggi. Praktik diferensiasi tarif PBB adalah hal yang lazim diterapkan di berbagai negara, baik di negara maju maupun negara berkembang (Bird, 2024).
Diferensiasi tarif dapat dibuat berdasarkan jenis properti, misalnya, properti residensial-komersial, pertanian-industri, heritage (cagar budaya), dan sebagainya. Penerapan diferensiasi tarif dapat menciptakan pemungutan pajak yang lebih adil, melindungi objek pajak/wajib pajak tertentu, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, mendukung kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, hingga bermuara pada meningkatnya penerimaan pajak.
Catatannya, penerapan diferensiasi tarif perlu dilandasi oleh data dan analisis yang cermat, agar hasilnya memuaskan semua pihak.
Penyesuaian NJKP dan kenaikan tarif biasanya akan mendongkrak PBB-P2 yang harus dibayar wajib pajak. Untuk itu, kepala daerah dapat mengeluarkan jurus lain. UU HKPD telah memberikan kewenangan bagi kepala daerah untuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, maupun pembayaran secara angsuran.
Pasal 101 Ayat (3) UU HKPD menyebutkan bahwa insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan sanksi dapat diberikan dengan sejumlah pertimbangan.
Ketentuan tersebut bisa menjadi strategi bagi kepala daerah untuk dapat bisa 'kreatif' dalam pengelolaan PBB-P2 sekaligus mendorong lajunya ekonomi daerah. Kepala daerah dapat memberikan insentif fiskal sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing untuk menciptakan keadilan, mengamankan penerimaan pajak, sekaligus mendorong ekonomi daerah. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Beberapa daerah telah menunjukkan bahwa insentif fiskal dapat menjadi alat untuk mencoba mewujudkan hal tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2024 memberikan insentif melalui Peraturan Gubernur 16/2024 yang isinya antara lain sebagai berikut.
Pertama, kenaikan pajak terutang, maksimal 25% dari tahun sebelumnya. Kedua, pembebasan PBB 100% untuk objek di bawah Rp2 miliar yang datanya telah dilengkapi dengan NIK. Aturan ini berlaku bagi 1 wajib pajak hanya 1 objek saja.
Ketiga, pengurangan pokok paling tinggi 100%, baik untuk tahun pajak berjalan maupun tahun pajak yang memiliki tunggakan untuk paling lama tahun pajak 2020. Keempat, keringanan pokok 10% kepada wajib pajak yang melakukan pembayaran PBB-P2 pada 2013 dan 2024 pada tanggal berlakunya pergub sampai dengan 31 Agustus 2024.
Kelima, keringanan pokok 5% kepada wajib pajak yang melakukan pembayaran PBB-P2 pada 2013 dan 2024, sejak 1 September 2024 hingga 30 November 2024.
Atas kebijakan-kebijakan pemungutan PBB-P2 dan insentiif fiskal yang diberikan, Pemprov DKI Jakarta berhasil mengumpulkan penerimaan PBB-P2 hampir Rp10 triliun pada 2024. Penerimaan ini melampaui penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang selama ini selalu menempati peringkat 1 pajak daerah DKI Jakarta.
Catatan penting lainnya, pencairan tunggakan PBB-P2, selain menyokong penerimaan juga menyelesaikan tunggakan PBB-P2 yang belum terselesaikan dan masih menjadi beban bagi pemda maupun wajib pajak.
Pemberian insentif fiskal, pada prinsipnya, tetap perlu mempertimbangkan aspek kemampuan bayar wajib pajak, kondisi tertentu objek pajak, kebutuhan keuangan daerah, dan dukungan terhadap program prioritas daerah/pusat.
Sri Mulyani, menteri keuangan periode 2016-2025, sempat mendorong kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha sebagai wujud kemudahan berusaha.
Namun, peluang bagi kepala daerah untuk memainkan orkestra dengan berbagai instrumen, bukan berarti tanpa tantangan. Resistensi dari pemilik properti bernilai tinggi misalnya, tentu harus diantisipasi.
Bagaimanapun perlu disadari bersama bahwa pajak bukan hanya untuk tujuan budgeter, namun juga merupakan alat distribusi untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Pemerintah daerah dapat memainkan orkestra ini dengan memainkan tarifnya, memberikan insentifnya, hingga terciptalah keadilan, kepatuhan, pertumbuhan ekonomi, dan diraihlah penerimaan pajak yang optimal.
Muaranya, kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyatnya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.