LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Menggeser Beban Sampah ke Produsen Plastik Lewat Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 30 September 2025 | 15.00 WIB
Menggeser Beban Sampah ke Produsen Plastik Lewat Pajak
M Rifal Hi Abdullah,
Loloda, Maluku Utara

SKEMA penarikan pajak di Indonesia saat ini masih bertumpu pada PPh dan PPN sebagai motor utama pendapatan negara. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), bea dan cukai, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) berperan sebagai penopang tambahan.

Sementara itu, potensi pajak berbasis lingkungan (green tax) masih kerap kali dianaktirikan.Sebagai contoh cukai plastik. Meski sudah didengung-dengungkan sejak 2016 dan bahkan masuk dalam target APBN, realisasinya hingga sekarang masih nihil.

Di sisi lain, timbunan sampah plastik terus meningkat di TPA, sungai, laut, hutan, bahkan hingga ke puncak gunung. Data dari Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK 2024 mencatat timbunan sampah nasional mencapai 34,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, hanya 40,09% atau 13,8 juta ton yang terkelola, sedangkan sisanya 59,91% atau 20,7 juta ton tidak tertangani.

Khusus sampah plastik, menempati urutan kedua penyumbang terbesar dengan porsi 19,76% atau 6,8 juta ton. Menurut Laporan Databoks Katadata (2024), timbunan sampah plastik pada 2025 akan naik menembus 9,9 juta ton.

Menyasar Produsen

Kebijakan penanganan sampah plastik di Indonesia selama ini memang dominan berfokus pada hilir ketimbang menyasar hulu atau produsen. Upaya pengelolaan lebih banyak bertumpu pada sistem pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan, serta solusi hilir seperti pengolahan termal atau downcycling (Adi Budipriyanto, 2025).

UU No. 18/2008 dan PP No. 81/2012 tentang pengelolaan sampah juga masih terbatas pada konsep pengurangan dan penanganan. Perpres 97/2017 yang menargetkan pengurangan sampah 30% pada 2025 juga belum menunjukkan hasil signifikan.

Ironisnya, industri plastik virgin justru mendapat insentif melalui PMK No. 130/2020 serta Perpres No. 78/2015 dan turunannya, seperti Permenperin No. 48/2015 tentang tax holiday dan tax allowance. Skema insentif tersebut dinilai turut memperbesar dominasi plastik virgin (Prakarsa, 2024).

Sebagai informasi, plastik virgin adalah resin plastik yang diproduksi menggunakan gas alam, minyak bumi, dan minyak mentah. Sumber alam yang digunakan untuk memproduksi jenis plastik ini belum pernah diproses sebelumnya. Jadi, plastik virgin merupakan plastik baru tanpa bahan daur ulang.

Lebih lanjut, Laporan The Prakarsa dan Nexus3 Foundation (2024) menyoroti kebijakan insentif bagi industri biji plastik melalui tax holiday, tax allowance, BMDTP, dan PPN 0% untuk ekspor produk plastik.

Berdasarkan laporan tersebut, pemberian insentif membuat plastik virgin lebih murah dibandingkan dengan plastik daur ulang. Kondisi ini pada akhirnya memperburuk polusi dan menghambat tata kelola limbah yang berkelanjutan.

Studi tersebut juga memperkirakan nilai kerugian fiskal akibat insentif pajak industri plastik mencapai US$54 juta per tahun. Sementara itu, kerugian ekonomi dari polusi plastik ditaksir hingga US$450 juta per tahun.

Dampak ini tentu menambah beban APBN untuk mitigasi polusi sekaligus mengurangi kesejahteraan masyarakat terdampak. Untuk itu, penulis meyakini pengenaan pajak plastik ada baiknya dimulai dari produsen itu sendiri.

Untuk menekan penumpukan plastik sekaligus mendorong ekonomi sirkular, kebijakan pajak plastik perlu segera diterapkan dengan menyasar produsen plastik. Prinsip polluter pays principle (PPP) bisa digunakan, yakni pencemar membayar sesuai nilai kerusakan yang ditimbulkan.

Dengan prinsip tersebut, tidak hanya produksi plastik sekali pakai dan plastik virgin mampu ditekan, tetapi juga menyediakan dana pembiayaan pengelolaan limbah.

Untuk tarif, dapat dihitung per kilogram plastik dengan objek meliputi kantong, sedotan, styrofoam, kemasan primer industri makanan/minuman, serta plastik virgin.

Selain itu, pemerintah juga dapat mempertimbangkan fasilitas perpajakan dalam rangka mendukung produsen untuk memproduksi plastik dengan bahan daur ulang. Misal, industri yang menggunakan bahan daur ulang minimal 30% dapat memperoleh pengurangan pajak hingga 50%.

Sebagai pembanding, Inggris telah menerapkan Plastic Packaging Tax (PPT) yang membebankan pajak pada kemasan plastik dengan kandungan daur ulang di bawah 30%. Nah, model serupa tentu bisa diadaptasi di Indonesia dengan fokus pada produsen plastik terbesar.

Penerapan pajak plastik bukan semata instrumen fiskal untuk menambah penerimaan negara, tetapi juga strategi menata arah pembangunan berkelanjutan.

Dengan menempatkan produsen sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran, negara dapat menekan laju timbunan sampah sekaligus mengurangi beban sosial dan ekonomi akibat polusi plastik.

Kini, tantangan terbesarnya adalah keberanian politik untuk segera mengesahkan kebijakan ini, agar Indonesia tidak terus tertinggal dalam mengelola krisis plastik yang kian mendesak.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.