DI Pasar Tanah Abang, denyut nadi transaksi tak pernah berhenti. Dari gorden impor sampai sandal grosiran, semuanya laku keras. Namun, berapa yang benar-benar tercatat dan dikenai pajak? Tak ada yang tahu pasti.
Merujuk pada laporan Ditjen Pajak (DJP), baru sekitar 5,5 juta atau 8,6% dari 64 juta badan usaha di Indonesia yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak badan. Artinya, jutaan transaksi harian berputar tanpa jejak, tanpa faktur, dan tentu saja tanpa membayar pajak.
Setiap tahun, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak dalam jumlah yang tidak sedikit. Entah karena transaksi gelap, laporan fiktif, atau ekonomi yang bergerak di luar radar pemerintah. Indonesia hanya meraup tax ratio di kisaran 11%, jauh di bawah rata-rata negara maju.
Kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional yang masih rendah pada gilirannya menyisakan ruang luas untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.
Dari Tanah Abang kita belajar, transaksi tunai sulit dilacak, sedangkan praktik penghindaran pajak bersembunyi di balik gelapnya ekonomi informal. DJP ibarat berlari dalam kegelapan. Di sisi lain, ekonomi bergerak makin cepat dan makin digital—tanpa jejak, tanpa batas, dan tanpa bayar pajak.
Pertanyaannya, bagaimana menutup kebocoran ini? Jawabannya bisa jadi ada di dompet digital Anda—Rupiah Digital.
Bank Indonesia tengah bersiap meluncurkan Rupiah Digital, versi mata uang digital resmi negara. Bukan e-wallet biasa, nilainya sama kuat dengan rupiah fisik. Begitu masuk ke saku digital, histori perjalanan transaksi tidak lagi hilang begitu saja. Rupiah Digital bukan sekadar alat pembayaran, tapi berpotensi menjadi instrumen revolusioner bagi sistem perpajakan.
Mengapa? Karena uang digital bisa dilacak. Setiap transaksi terekam otomatis, membentuk jejak digital yang sulit dimanipulasi. Pelaporan pajak berpotensi berlangsung otomatis, mengurangi ketergantungan pada dokumen manual.
Seorang pengusaha telur asin di Brebes pun bisa tercatat kontribusinya tanpa harus mengisi formulir panjang. Satu transaksi yang dulu bisa luput, kini akan lebih mudah terlihat.
Dengan begitu, Rupiah Digital membawa cahaya ke lorong gelap transaksi tunai. Sistem perpajakan bisa langsung terintegrasi dengan transaksi real-time. Negara bukan hanya bisa mengejar pajak yang hilang, tapi juga mencegah kebocoran sebelum terjadi.
Bayangkan seorang pelaku usaha kecil melakukan transaksi jual-beli menggunakan Rupiah Digital. Sistem otomatis mencatat nilai transaksi, lokasi, hingga waktu. Tanpa inspeksi manual, data ini bisa diakses otoritas pajak. Inilah kekuatan transparansi digital.
Untuk pertama kalinya, produk pemerintah—Rupiah Digital—dapat berperan sebagai “kamera pengawas” transaksi yang selama ini gelap. Rupiah Digital bukan hanya inovasi moneter, tetapi juga peluru fiskal baru.
Daripada aparat pajak terus ngos-ngosan mengejar pelaku nakal, mengapa tidak memperkuat alatnya? Momentum terbaik untuk melakukan lompatan adalah sekarang, sebelum kebocoran makin meluas.
Rupiah Digital bukan sekadar perubahan bentuk uang. Ia merepresentasikan perubahan cara negara bekerja: dari era kepercayaan ke era keterlacakan; dari laporan manual ke sistem otomatis; dari pengawasan manual ke partisipasi digital.
Jika diadopsi secara cerdas, Rupiah Digital bisa menjadi senjata penting Indonesia dalam mengejar potensi penerimaan pajak yang selama ini bocor.
Meski demikian, Rupiah Digital bukanlah solusi instan. Ia membutuhkan infrastruktur digital yang kokoh, literasi digital masyarakat agar tidak sekadar “punya” tetapi juga paham cara pakai, serta dukungan regulasi.
Misal, integrasi dengan DJP Online, POS, dan e-commerce; atau pemotongan otomatis pajak atas transaksi tertentu. Tanpa itu, inovasi ini hanya akan dinikmati segelintir masyarakat.
Selain itu, keberanian politik diperlukan agar Rupiah Digital benar-benar terintegrasi ke sistem perpajakan. Terdapat kebijakan yang bisa dipertimbangkan. Pertama, integrasi penuh dengan sistem pajak sehingga platform transaksi Rupiah Digital terhubung langsung dengan pelaporan DJP, termasuk kemungkinan pemotongan otomatis pajak.
Kedua, pemberian insentif berupa tarif preferensial atau kemudahan administrasi bagi UMKM dan e-commerce yang mengadopsi Rupiah Digital. Ketiga, kampanye literasi yang kreatif, misalnya tagline “Bayar pajak sambil beli bakso” untuk mendekatkan konsep ini ke masyarakat.
Kelima, pembangunan fondasi digital merata, agar inklusi pajak bisa dirasakan hingga pelosok, dari Sumba hingga Papua.
Penerimaan pajak adalah nyawa negara. Di tengah kebutuhan belanja besar untuk infrastruktur, subsidi, dan pendidikan, kebocoran fiskal tidak boleh dibiarkan. Rupiah Digital adalah peluang. Bukan sekadar menambal, tapi membangun ulang sistem yang lebih adil, efisien, dan transparan.
Pertanyaannya kini bukan lagi “Apakah Rupiah Digital penting?”, melainkan “Kapan kita siap menggunakannya sebagai alat melawan kebocoran pajak?”. Momentum ini tak datang dua kali. Jika kita lambat, sistem lama akan terus mendominasi dan kebocoran pajak tetap menganga.
Di era ketika data adalah raja, pajak harus mengikuti pergerakan uang—dan uang itu kini berwujud digital. Indonesia tak butuh lebih banyak ancaman pajak. Kita butuh sistem yang menyulitkan untuk berbuat curang, atau bahkan mustahil. Untuk pertama kalinya, pajak mungkin bisa benar-benar mengejar transaksi, bukan sebaliknya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.