Managing Partner DDTC Darussalam (kanan), Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono, dan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor dalam Hot Economy yang disiarkan Berita Satu TV, Senin (17/5/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah harus memastikan pengambilan opsi kenaikan tarif pajak tidak mendistorsi pemulihan ekonomi nasional pascaterjadinya pandemi Covid-19.
Pakar sekaligus Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pada masa pandemi Covid-19, ada berbagai relaksasi pajak yang berdampak pada penurunan pendapatan negara. Pada saat bersamaan, ada kenaikan belanja negara. Keduanya bertujuan untuk menstimulus ekonomi.
“Persoalannya sekarang bagaimana kita menyeimbangkan dua kepentingan ini. Kita cari titik tengah. Kalau kita akan menaikkan pajak, pertanyaannya adalah jenis pajak apa yang bisa kita naikkan tanpa mendistorsi ekonomi,” ujar Darussalam dalam Hot Economy yang disiarkan Berita Satu TV, Senin (17/5/2021).
Seperti diberitakan sebelumnya, salah satu opsi kebijakan yang tengah dipertimbangkan pemerintah untuk menuju konsolidasi fiskal – dengan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) – adalah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Darussalam mengatakan sebagai pajak atas konsumsi, PPN memang menjadi salah satu pajak yang relatif tidak distortif. Berdasarkan pada berbagai penelitian, sambungnya, pajak atas properti cenderung paling tidak menganggu ekonomi.
Setelah itu, secara berurutan, ada pajak atas konsumsi (termasuk PPN), pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, dan PPh badan. Darussalam mengatakan dalam konteks PPN, ada skema pajak keluaran dan pajak masukan sehingga sifatnya netral.
Berdasarkan pada data OECD, sambung Darussalam, banyak negara yang sedang dalam masa transisi menuju pemulihan ekonomi mengambil kebijakan peningkatan tarif PPN. Selama 2010—2020, rata-rata tarif di 127 negara di dunia meningkat dari 14,9% menjadi 15,4%.
Dalam kesempatan itu Darussalam juga menekankan pentingnya kebijakan lain untuk melindungi kelompok masyarakat bawah jika pemerintah ingin menaikkan tarif PPN. Salah satunya adalah pemberian stimulus melalui mekanisme subsidi langsung.
“Daripada kita memberikan pembebasan, lebih baik berlakukan pungutan tapi berikan subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah,” ujarnya. Simak pula ‘Banyak Pengecualian PPN di Indonesia, Ini Penjelasan Dirjen Pajak’.
Selain itu, skema PPN multitarif juga bisa dipertimbangkan. Dengan demikian, atas barang yang menjadi kebutuhan dasar orang banyak, bisa mendapat tarif rendah. Sementara untuk barang mewah yang dikonsumsi orang kaya, bisa dikenakan tarif paling tinggi. Simak ‘Tren Global PPN: Kenaikan Tarif, Multitarif, dan Pembatasan Fasilitas’.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah masih terus mengkaji secara komprehensif opsi kenaikan tarif PPN. Keputusan juga akan tergantung pada pembahasan dengan DPR. Simak ‘Ubah Kebijakan PPN, Pemerintah Tunggu Pembahasan Dengan DPR’.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mendorong pemerintah untuk melibatkan seluruh stakeholder, termasuk pengusaha, selama kajian berlangsung. Menurutnya, perekonomian masih belum pulih signifikan.
“Memang dalam UU itu dimungkinkan [adanya kenaikan menjadi] sampai 15%. Cuma kita melihat apakah waktunya sudah tepat untuk itu?” katanya.
Menurutnya, kenaikan PPN akan berimbas pada tingkat konsumsi di semua lapisan masyarakat karena berpotensi mengerek harga produk. Kondisi itu dikhawatirkan akan memiliki dampak ikutan dari sisi produksi sehingga pemulihan ekonomi berisiko terganggu.
Pemerintah, menurutnya, bisa mengambil alternatif kebijakan lainnya. Salah satunya dengan memperluas basis pajak melalui pemajakan sektor-sektor potensial seperti digital. Optimalisasi penerimaan pada sektor itu juga perlu dibarengi dengan efisiensi dari sisi belanja negara. (kaw)