Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam dan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti dalam FGD Pengembangan Edukasi Perpajakan Melalui Pihak Ketiga.Â
JAKARTA, DDTCNews - Perguruan tinggi perlu dilibatkan secara lebih mendalam dalam penyusunan kurikulum perpajakan. Selama ini belum ada standardisasi kurikulum perpajakan yang diberikan oleh kampus-kampus di Indonesia. Hal ini membuat profil lulusan perguruan tinggi yang terjun di bidang kerja perpajakan belum seragam dan merata.Â
Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam mengatakan semestinya tugas perguruan tinggi tidak terbatas pada sosialisasi ketentuan pajak, tetapi lebih besar dari itu.Â
"Kampus punya peran membangun sistem pajak yang berkepastian hukum, berkeadilan, setara, dan menjadi mitra kritis konstruktif yang berwibawa bagi otoritas pajak," ujar Darussalam dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Edukasi Perpajakan Melalui Pihak Ketiga di Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP), Senin (18/9/2023).Â
Pada prinsipnya, dia menyebutkan, pendidikan perpajakan merupakan gabungan dari multidisiplin ilmu. Karenanya, penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kurikulum dengan mempertimbangkan beragam disiplin ilmu yang mendukung perpajakan, termasuk akuntansi, hukum, ataupun administrasi.Â
Tak cuma itu, Darussalam juga menekankan bahwa kurikulum pendidikan perpajakan harus menyesuaikan dengan perkembangan isu perpajakan terkini, termasuk dengan kemajuan teknologi. Darussalam mengingatkan, keilmuan perpajakan saat ini tengah mengalami disrupsi dengan pesatnya perkembangan teknologi.Â
"Ada tugas-tugas yang kini diambil alih oleh teknologi. Karenanya, pendidikan perpajakan perlu memperhatikan hal ini juga. Bagaimana nantinya profesi perpajakan bisa berjalan sesuai dengan teknologi yang ada," kata Darussalam.Â
Jika pendidikan perpajakan selaras dengan kebutuhan terkini, lulusan program studi perpajakan atau prodi lainnya yang serupa bisa mengisi kebutuhan lapangan kerja.Â
Dalam FGD kali ini, Darussalam juga mengingatkan seluruh stakeholders bahwa penyusunan kurikulum perpajakan dibutuhkan untuk menyediakan ahli pajak yang kompeten, adaptif, dan berintegritas. DJP dan kampus dinilai perlu duduk bersama kembali untuk menjadikan program studi perpajakan menjadi lebih menarik.
Ada 5 perubahan paradigma yang semestinya diusung oleh kurikulum perpajakan. Pertama, pajak sebagai multidisiplin ilmu. Kedua, pembelajaran pajak melalui perbandingan negara lain.
Ketiga, pembelajaran pajak melalui studi kasus. Keempat, peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar pajak yang berasal dari luar otoritas pajak. Terakhir, akademisi dan praktisi saling berkolaborasi sehingga link and match dapat terwujud.
Di Indonesia, sejak 2017, pemerintah sebenarnya telah membuat strategi edukasi pajak yang lebih sistematis, beragam, dan berkelanjutan. Artinya, ujar Darussalam, pihak di luar pemerintah semestinya juga memiliki peran strategis dalam hal edukasi pajak.Â
"Dalam hal ini tax center terlibat dalam berbagai aspek, semisal penyelenggaraan event yang bersifat sosialisasi, adanya pendampingan pajak bagi UKM, klinik pajak, dan sebagainya," kata Darussalam.
Senada dengan Darussalam, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Dwi Astuti menegaskan bahwa otoritas tidak bisa berjalan sendirian dalam menjalankan perannya.Â
Menurutnya, mahasiswa perguruan tinggi punya peran besar dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dengan kualitas keilmuan yang terstandardisasi, lulusan perpajakan bisa siap untuk terjun di dunia perpajakan secara profesional, baik sebagai konsultan, pegawai perusahaan, ataupun sebagai pembayar pajak yang taat.Â
"Peran bapak ibu kepada teman-teman menjadi sangat krusial. DJP tidak bisa jalan sendiri. Makanya kami butuh pihak ketiga, intermediary, sebagai penghubung dan pendukung antara otoritas dan wajib pajak," kata Dwi.Â
Dari sisi perguruan tinggi, Ketua Program Studi D-III Pajak Politeknik Keuangan Negara STAN Supriyadi ikut menyampaikan suaranya. Menurutnya, membangun kurikulum perpajakan yang seragam bagi seluruh perguruan tinggi memang tidak mudah. Untuk kasus PKN STAN, kurikulumnya perlu menyesuaikan dengan pakem dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi.
"Pekerjaan rumah bagi kampus adalah menyusun kurikulum agar semata-mata tidak hanya aspek teori saja, dari sisi akuntansi atau administrasi, tetapi juga dari sisi praktis," kata Supriyadi. (sap)