Ilustrasi. (foto: english.rekenkamer.nl)
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Bea dan Cukai bakal menggunakan sistem baru dalam pemungutan bea masuk dan pajak impor transaksi e-commerce lintas batas. Rencana tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (17/9/2019).
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan tidak ada tarif baru, baik dari sisi bea masuk maupun pajak impor. Aspek yang baru adalah sistem pemungutannya yang tadinya langsung oleh petugas secara offline menjadi online. Pelanggan yang melakukan pembayaran saat bertransaksi.
“Ini hanya shifting, mengubah bentuk administrasinya tadinya konvensional menjadi lebih modern. Ini adalah pendekatan baru yang kami lakukan untuk meningkatkan transparansi dan tetap menjaga bisnis tetap tumbuh. Saya harap bisa cepat dilakukan. Saya kira satu atau dua minggu lagi,” jelasnya.
Selain itu, ada juga sorotan mengenai pajak atas kekayaan. Pasalnya, ada beberapa aspek yang bisa menjadi acuan untuk menentukan prospek beberapa jenis pajak kekayaan, baik itu atas pengendalian atau kepemilikan aset, penyerahan harta kepemilikan tanpa transaksi ekonomi, atau transaksi perpindahan kepemilikan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Pemungutan bea masuk dan pajak impor atas barang dalam transaksi e-commerce lintas batas akan sama transaksi di restoran. Artinya, akan ada rincian pembelian, pajak, dan tarif bea masuk dalam bukti pembayaran. Petugas Bea Cukai tidak perlu menarik bea masuk dan pajak impor secara konvensional.
“Sehingga pada saat barang-barang itu melalui bandara, pungutan menjadi lebih simple, mudah, dan cepat bagi semua pihak. Bagi customs, itu juga penting karena bakal ada transparansinya,” kata Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Peneliti Pajak DDTC Fiscal Research dalam tulisan bertajuk ‘Menimbang Pajak atas Kekayaan di Indonesia’ memaparkan ada beberapa aspek yang perlu dilihat dalam kaitannya dengan pajak kekayaan. Terkait topik ini, Anda juga bisa membacanya di Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2019 bertajuk ‘Memperluas Basis Pajak melalui Objek Pajak Baru’.
Pertama, pajak kekayaan perlu dipahami sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Perluasan basis pajak melalui penambahan objek berbasis harta harus dipandang sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan dan tidak sekadar untuk mengumpulkan penerimaan.
Kedua, pajak berbasis kekayaan merupakan jawaban atas belum optimalnya pemungutan PPh OP di Indonesia. Ketiga, pengenaan pajak kekayaan memiliki prospek positif jika suatu negara memiliki pengalaman keberhasilan memungut pajak berbasis kepemilikan harta, seperti amnesti pajak.
Keempat, ekosistem yang mendukung efektivitas pemungutan pajak, seperti adanya automatic exchange of information (AEoI). Pemilihan pajak yang ideal perlu diselaraskan dengan sasaran pemerintah. Kemauan politik dan kehatian-hatian dalam mendesain kebijakan tidak bisa ditawar.
Pemerintah akan mematangkan pengenaan bea masuk barang virtual setelah moratorium selesai. Dalam konferensi tingkat menteri World Trade Organization (WTO) 2017, ada kesepakatan mengenai pembebasan bea masuk barang impor yang menggunakan transmisi elektronik sampai 2019.
Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengatakan untuk mengenakan bea masuk barang-barang virtual seperti software atau lainnya, pemerintah perlu kesepakatan dengan negara-negara di WTO.
“Nanti ditentukan pada 2020, dalam pertemuan tingkat menteri di Kazakstan,” katanya. (kaw)