Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan masih menghitung nilai potensi penerimaan dari pajak karbon yang direncanakan berlaku mulai 1 April 2022.
Analis Kebijakan pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Febri Pangestu mengatakan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) turut mengatur pengenaan pajak karbon. Meski demikian, potensi penerimaan dari pajak karbon masih dihitung.
"Untuk proyeksi penerimaan pajak karbon sampai dengan saat ini masih dalam proses penghitungan karena kami masih perlu menyinkronkan mekanismenya," katanya dalam live Instagram, dikutip pada Senin (18/10/2021).
Febri menuturkan pemerintah memakai mekanisme pajak karbon yang berdasarkan pada batas emisi (cap and tax). Meski tarif telah ditetapkan senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), pemerintah masih perlu menetapkan cap-nya.
Dia menjelaskan tarif pajak karbon akan dikenakan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Sementara itu, penetapan cap bakal dilakukan kementerian yang menjadi pembina sektor subjek pajak karbon.
Jika pada tahap awal pajak karbon dikenakan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, artinya cap akan ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk pemungutan pajak karbon, akan tetap dilakukan Ditjen Pajak (DJP).
Sementara itu, wajib pajak juga dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang telah dibelinya di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.
"Variabel-variabel itu masih menjadi pertimbangan pemerintah untuk target penerimaan pajak di 2022 dan tahun berikutnya," ujar Febri.
Dia menambahkan penerimaan pajak karbon akan dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pajak karbon akan masuk dalam penerimaan perpajakan yang alokasi pembelanjaannya berada di bawah mekanisme APBN. (rig)