WEBINAR STPI - DDTC

Penyesuaian PPN di UU HPP Dinilai Lebih Rasional, Begini Penjelasannya

Dian Kurniati
Sabtu, 21 Mei 2022 | 17.00 WIB
Penyesuaian PPN di UU HPP Dinilai Lebih Rasional, Begini Penjelasannya

Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji (kiri atas), Fungsional Penyuluh Ahli Madya Kantor Pusat DJP Arif Yunianto (kanan bawah), dan dosen Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia Sumiharti (kiri bawah) dalam webinar STPI. (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews - Perubahan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dinilai lebih rasional. Kebijakan baru PPN juga dianggap lebih sesuai dengan kondisi perekonomian terkini di Indonesia.

Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan perubahan peraturan PPN melalui UU HPP dapat mendorong sistem pajak yang lebih adil karena bebannya dapat ditopang secara proporsional. Di sisi lain, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan penerimaan pajak.

"Ini pilihan yang menurut saya rasional, walaupun menjadi pil pahit," katanya dalam webinar yang diadakan Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia (STPI), Sabtu (21/5/2022).

Menurut Bawono, penyesuaian kebijakan PPN dalam UU HPP sebenarnya relatif lebih sedikit ketimbang klaster lain seperti pajak penghasilan (PPh) atau ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Namun, implikasi dari perubahan kebijakan PPN justru paling dirasakan oleh masyarakat luas sebagai konsumen akhir yang dikenai jenis pajak tersebut.

Melalui UU HPP, tarif PPN telah berubah dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022. Kemudian, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.

Kemudian, UU HPP turut mengatur ulang pemberian pengecualian dan pemberian fasilitas PPN. Sejumlah barang dan jasa kini dikeluarkan dari pengecualian sehingga semuanya adalah barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP).

Meski demikian, pemerintah tetap memberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari PPN kepada barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Pengecualian PPN tetap diatur dalam Pasal 4A UU HPP, sedangkan pemberian fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan diatur dalam Pasal 16B.

Selain itu, UU HPP juga mengatur skema PPN final atas pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu atau atas penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak tertentu.

Bawono menambahkan perubahan peraturan PPN tersebut akan berdampak positif pada penerimaan pajak secara berkelanjutan. Tren yang terjadi dalam 3 hingga 4 dekade terakhir menunjukkan penurunan penerimaan pada PPh badan dan PPh orang pribadi. Namun, di sisi lain pengumpulan PPN justru relatif stabil atau bahkan meningkat di beberapa kawasan seperti Asia. Kondisi serupa bahkan juga terjadi selama pandemi Covid-19.

"Karena banyak negara melihat akhirnya pajak konsumsi sebagai instrumen untuk menjadi pemasukan di masa pandemi," ujarnya.

Kepala STPI Herry Sumardjito mengatakan perubahan peraturan perpajakan melalui UU HPP diperlukan untuk kemajuan ekonomi di Indonesia. Selain PPN, ruang lingkup pengaturan UU HPP juga mencakup KUP, PPh, program pengungkapan sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.

Menurutnya, kalangan mahasiswa perlu terus mengikuti setiap perkembangan peraturan perpajakan, termasuk yang mulai diatur atau diubah melalui UU HPP.

"Mahasiswa-mahasiswa di Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia harus paham betul mengenai peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku," katanya.

Dalam seminar yang sama, Fungsional Penyuluh Ahli Madya Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP) Arif Yunianto menyampaikan materi mengenai perubahan UU KUP. Dia menyebut ada sejumlah isu dalam UU KUP yang diubah melalui UU HPP, di antaranya penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi, dan besaran sanksi pada saat pemeriksaan dan sanksi dalam upaya hukum.

Selain itu, perubahan juga terjadi pada isu penagihan atas wanprestasi pembayaran angsuran/penundaan kurang bayar SPT tahunan, kuasa wajib pajak, penegakkan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian negara, kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak.

"Tujuannya mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, seiring sejalan dengan asasnya," ujar Arif. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.