Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah resmi mengundangkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 29 Oktober 2021. Dengan demikian, perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dimuat dalam UU HPP juga resmi berlaku.
Seperti diketahui, UU HPP mengubah ketentuan pada berbagai undang-undang perpajakan, termasuk KUP. Namun, jadwal pemberlakuan perubahan ditetapkan berbeda-beda. Berdasarkan pada Pasal 19, perubahan UU KUP mulai berlaku sejak tanggal UU HPP diundangkan.
“Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan [29 Oktober 2021],” demikian bunyi Pasal 19 UU HPP, dikutip pada Kamis (4/11/2021).
Berikut ini perincian perubahan UU KUP yang dimuat dalam UU HPP.
Ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP WPOP tercantum dalam Pasal 2 ayat (1a) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP. Namun, Ditjen Pajak (DJP) menegaskan integrasi data NIK dan NPWP tidak serta merta membuat WNI langsung memiliki kewajiban membayar pajak. Simak ‘Pemberlakuan NIK sebagai NPWP, Begini Perinciannya Menurut DJP’.
UU HPP mengubah Pasal 8 ayat (4) UU KUP. Perubahan ini membuat wajib pajak kini hanya punya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT sepanjang dirjen pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Simak ‘UU HPP, Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Maksimal Sebelum SPHP Terbit’.
UU HPP mengubah besaran sanksi administrasi sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam Pasal 13 ayat (3) UU KUP. Perubahan tersebut membuat sanksi yang dikenakan dalam Pasal 13 ayat (3) kini lebih rendah dan tidak hanya berupa kenaikan. Simak ‘Sanksi Administrasi Pajak Pasal 13 ayat (3) UU KUP Diturunkan’.
Melalui Pasal 20A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah mengatur ketentuan pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara/yurisdiksi mitra. Ketentuan lebih lanjut perihal bantuan penagihan pajak ini akan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK. Simak ‘DJP Bisa Minta Bantuan Negara Mitra untuk Penagihan Pajak’.
Perubahan besaran sanksi tersebut tertuang dalam Pasal 25 dan Pasal 27 UU KUP s.t.d.t.d. UU HPP. Adanya perubahan ini membuat sanksi atas keberatan turun menjadi 30% dari sebelumnya 50%. Sementara sanksi atas banding turun menjadi 60% dari sebelumnya 100%.
Selain itu, melalui Pasal 27 tersebut, pemerintah mengatur pengenaan sanksi denda sebesar 60% apabila putusan peninjauan kembali (PK) menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Simak ‘UU KUP Direvisi, Sanksi Denda Keberatan dan Banding Jadi Lebih Ringan’.
Melalui Pasal 27C UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah mengatur kembali ketentuan MAP agar pelaksanaannya dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan MAP akan diatur dengan atau berdasarkan PMK. Simak ‘UU HPP Atur Ulang Ketentuan MAP, Begini Detailnya’.
Melalui Pasal 32 ayat (3a) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah mengharuskan kuasa wajib pajak untuk memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu tersebut antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Simak ‘UU HPP Ubah Ketentuan Soal Kuasa Wajib Pajak’.
Pasal 32A UU s.t.d.t.d UU HPP memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak. Adapun pihak lain yang dapat ditunjuk merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi. Simak ‘Menkeu Bisa Tunjuk Pihak Lain Jadi Pemotong/Pemungut Pajak’.
Penambahan wewenang itu tertuang dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP. Pasal tersebut memberikan wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) DJP sebagai penyidik untuk melaksanakan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaan tersangka tindak pidana pajak. Simak ‘Penyidik DJP Bisa Sita dan Blokir Harta Tersangka Tindak Pidana Pajak’.
UU HPP mengubah besaran sanksi denda yang harus dibayar wajib pajak/tersangka jika ingin penyidikan atas tindak pidana perpajakannya dihentikan (Pasal 44B UU KUP). Besaran sanksi denda tersebut kini dibuat berjenjang tergantung pada perbuatan yang dilakukan wajib pajak. Simak ‘Sanksi Penghentian Penyidikan Pasal 44B UU KUP Direvisi’.
Pemerintah juga memperluas ultimum remedium tindak pidana perpajakan hingga tahap persidangan. Selain itu, pemerintah mengatur tidak adanya opsi menggantikan (subsider) pembayaran pidana denda dengan kurungan melalui Pasal 44C UU KUP s.t.d.t.d UU HPP. Simak ‘Diatur dalam UU HPP, Pidana Denda Tidak Dapat Diganti Kurungan’. (kaw)