Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memperluas ultimum remedium tindak pidana perpajakan hingga tahap persidangan.
Perluasan tersebut merupakan bagian dari perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perapajakan (KUP) dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengaturan perluasan ultimum remedium ini tertuang dalam Pasal 44B ayat (2), (2a), (2b), dan ayat (2c) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.
“Ketentuan ayat (2) Pasal 44B diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 44B disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (2c),” demikian bunyi Pasal 2 angka 16 UU HPP, dikutip pada Selasa (19/10/2021).
Ultimum remedium berarti hukum pidana menjadi jalan terakhir dan tidak boleh digunakan pada tahapan awal penegakan hukum. Sebelumnya, ultimum remedium pidana pajak hanya diperkenankan pada tahap penyidikan.
Dalam UU HPP, ultimum remedium diperluas hingga perkara pidana dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini bisa dilakukan asalkan terdakwa mengembalikan kerugian pendapatan negara dengan melunasi pokok pajak dan sanksi denda. Sanksi denda yang harus dibayar bervariasi tergantung pada perbuatan wajib pajak.
Bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan akibat kealpaan (Pasal 38 UU KUP) diharuskan melunasi pokok pajak dan denda sebesar 1 kali dari pokok pajak yang kurang dibayar
Selanjutnya, bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan secara sengaja (Pasal 39 UU KUP) harus membayar pokok pajak ditambah dengan denda sebesar 3 kali pokok pajak yang kurang dibayar.
Kemudian, bagi wajib pajak yang membuat faktur pajak/bukti potong fiktif (Pasal 39A UU KUP) harus membayar pokok pajak dan denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Simak ‘Sanksi Penghentian Penyidikan Pasal 44B UU KUP Direvisi’.
Kendati perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi pokok pajak dan sanksi tersebut. Pelunasan itu menjadi pertimbangan untuk wajib pajak dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
Berdasarkan pada bagian penjelasan Pasal 44B ayat (2b), dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara berarti perkara pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tetap dinyatakan bersalah. Namun, penuntutan tersebut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara untuk terdakwa orang.
Sementara pidana denda, baik untuk terdakwa orang maupun badan tetap dijatuhkan sebesar jumlah yang telah dilunasi terdakwa. Jumlah pelunasan tersebut diperhitungkan sebagai pidana denda.
Tujuan pemidanaan pajak bukanlah pemenjaraan, melainkan lebih kepada agar kerugian pada pendapatan negera dapat dipulihkan (dikembalikan ke negara). Untuk itu, ketentuan ini merupakan upaya penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara. (kaw)