UU HPP

UU HPP Atur Ulang Ketentuan MAP, Begini Detailnya

Nora Galuh Candra Asmarani
Jumat, 15 Oktober 2021 | 13.00 WIB
UU HPP Atur Ulang Ketentuan MAP, Begini Detailnya

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur kembali ketentuan terkait dengan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures/MAP).

Pengaturan kembali MAP tersebut dimaksudkan agar pelaksanaannya dapat berjalan secara simultan dengan proses keberatan, banding, atau pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak (SKP) yang tidak benar. Ketentuan perihal MAP ini dituangkan dalam Pasal 27C UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.

“Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama…dapat diajukan bersamaan dengan permohonan wajib pajak dalam negeri untuk mengajukan: a. keberatan…; b. permohonan banding…; atau c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar…,” bunyi Pasal 27C ayat (3), Jumat (15/10/2021)

MAP dalam Pasal 27C ayat (3) tersebut merupakan MAP yang diajukan wajib pajak dalam negeri (WPDN), direktur jenderal (dirjen) pajak, atau pejabat berwenang negara/yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Dalam hal pelaksanaan MAP yang diajukan bersamaan dengan permohonan banding belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan putusan banding atau putusan peninjauan kembali (PK) diucapkan maka dirjen pajak dapat melakukan di antara 2 hal.

Pertama, melanjutkan perundingan. Langkah ini diambil dalam hal materi sengketa yang diputus dalam putusan banding atau putusan PK bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.

Kedua, menggunakan putusan banding atau putusan PK sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan. Hal ini dilakukan dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.

Kemudian, dirjen pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan MAP dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama. Surat keputusan tentang persetujuan bersama ini termasuk sebagai dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak.

MAP merupakan prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Dirjen pajak berwenang melaksanakan MAP untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.

Berdasarkan Pasal 27C ayat (2), terdapat 4 pihak yang dapat mengajukan MAP. Keempat pihak itu meliputi WPDN, dirjen pajak, pejabat berwenang negara/yurisdiksi mitra P3B, atau warga negara indonesia (WNI) melalui dirjen pajak.

Pengajuan MAP dari WNI melalui dirjen pajak dilakukan terkait dengan perlakuan diskriminatif di negara/yurisdiksi mitra P3B yang bertentangan dengan ketentuan nondiskriminasi. Pengajuan MAP ini harus sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B.

Selama ini, belum terdapat pengaturan mengenai MAP dan implementasinya secara eksplisit dalam UU KUP. Namun, beberapa substansi dasar MAP telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2011 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 49/2019.

Berdasarkan ketentuan saat ini, wajib pajak dapat mengajukan MAP. Namun, proses MAP dihentikan dalam hal telah terdapat putusan pengadilan pajak atau Mahkamah Agung (MA).

Mengutip laman resmi DJP, situasi tersebut akan membuat wajib pajak kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan dalam penghindaran pengenaan pajak berganda atas isu yang tidak dijadikan sengketa di pengadilan pajak atau MA.

Hal tersebut berdampak kurang positif karena MAP tidak dilaksanakan sesuai dengan international best practice. Untuk itu, penambahan Pasal 27C ini dinilai menjadi solusi atas hal tersebut dan dapat memberikan keadilan kepada wajib pajak dalam pengajuan MAP. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.