ILUSTRASI, petugas bea cukai di lapangan.
JAKARTA, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur penerapan prinsip ultimum remedium. Prinsip ini menjadikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan prinsip ultimum remedium diarahkan untuk mengedepankan pemberian sanksi denda ketimbang proses pidana. Meski demikian, dia menyebut dampak kebijakan tersebut terhadap penerimaan negara tidak terlalu signifikan.
"Melalui kebijakan tersebut, diharapkan akan mempercepat kepastian hukum terhadap pelaku pelanggaran di bidang cukai, serta berpotensi menambah penerimaan negara, walaupun tidak terlalu signifikan," katanya, Senin (11/10/2021).
Askolani mengatakan prinsip ultimum remedium akan memprioritaskan pemberian sanksi denda daripada prosedur pidana. Menurutnya, prinsip tersebut juga untuk mempermudah penyelesaian terhadap pelanggaran di bidang cukai.
Pelanggaran di bidang cukai yang mengadopsi ultimum remedium antara lain pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
UU HPP mengatur penyesuaian sanksi administrasi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan. Pemulihan kerugian pendapatan negara dilakukan pada tahap penelitian sebelumnya belum diatur dalam UU Cukai.
Pejabat Bea Cukai berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Jika ditemukan pelanggaran administratif di bidang cukai, persoalan akan diselesaikan secara administratif.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Sementara pada tahap penyelidikan, terdapat perubahan mengenai kewajiban membayar sanksi atas pelanggaran di bidang cukai. Pada UU Cukai, diatur penghentian penyidikan wajib membayar pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Adapun melalui UU HPP terkini, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai. Pembayaran sanksi denda tersebut menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
"Kebijakan ultimum remedium untuk beberapa pelanggaran cukai memang diarahkan untuk lebih mengedepankan pemberian sanksi denda," ujar Askolani.
Perubahan ketentuan tersebut akan berlaku sejak UU HPP diundangkan. Hingga September 2021, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai senilai Rp158,00 triliun atau 73,50% dari target Rp214,96 triliun.
Sementara pada APBN 2022, penerimaan kepabeanan dan cukai ditargetkan mencapai Rp245 triliun atau tumbuh 13,9% dari target tahun ini. (sap)